Kamis, 19 April 2013 17.00
WIB
Aku masih sakit. Radang tenggorokanku kumat dan aku menjadi gampang sakit. Bahkan hujan gerimis yang kuterjang membuatku pusing sekarang, padahal dulu aku sering bermain dengan hujan sampai basah kuyub dan tidak akan terjadi apa-apa padaku. Aku sangat pusing. Namun aku tetap berusaha ‘hadir’ untuk teman-temanku. Tidak bisa aku berpaling atau menunduk untuk menghilangkan pusing, karena aku harus memperhatikan kata-kata mereka melalui bahasa isyarat. Aku bukan memaksakan diriku, bagiku ini adalah kesempatan untuk mengenal mereka lebih jauh lagi. Mengenal teman-teman baruku yang luar biasa. Mungkin orang lain menganggap mereka tidak sempurna atau tidak normal. Namun bagiku mereka adalah keajaiban. Semangat, perjuangan dan kesetiakawanan mereka lah yang membuatku semangat hadir dalam rapat Walitura dan semangat untuk belajar bahasa isyarat.
Teman-teman Walitura sedang membuat program untuk sosialisasi bahasa isyarat (sobis). Karena selama berbulan-bulan, tidak ada kemajuan yang signifikan. Aku semakin kagum karena mereka semangat untuk terus sosialisai dan mereka juga menyambut dengan antusias usul dari Ayu, seorang penterjemah bahasa isyarat, yang membagi sobis menjadi 3 kelompok. Kelompok huruf abjad, kelompok kosakata, dan kelompok pantonim. Mereka juga mempercayai aku untuk menjadi penterjemah dan membantu teman dari kelompok huruf abjad.
Aku semakin pusing. Aku membuka-buku buku notes milik Ayu, notes yang berisi nomor-nomor telepon. Ayu seorang seniman dan pelukis wajah, tak heran apabila di halaman notesnya ada gambar dirinya dalam bentuk kartun. Aku membaca sekelumit kata-kata mutiara di bawah notes itu, intinya tentang kehilangan. Apa yang dia miliki pernah dia rasakan, pernah dia sayangi dan dia pernah berbahagia bersamanya. Hebatnya, dia menulis bahwa dia juga harus berbahagia saat dia kehilangan yang dia miliki, karena semua yang dimiliki juga akan hilang.
Aku terharu. Seandainya aku memiliki konsep seperti itu, pasti aku tidak akan sedih dan sangat menyesal ketika mengingat papa. Aku hanya tidak merelakan bahwa papa yang kumiliki pergi sangat cepat dan dalam sakitnya. Seandainya waktu bisa diputar. Seandainya aku iklas. Seandainya…
Aku masih pusing ketika teman-teman saling bercanda dan mengejek, tapi aku tertawa juga. Karena aku bahagia.
Aku masih sakit. Radang tenggorokanku kumat dan aku menjadi gampang sakit. Bahkan hujan gerimis yang kuterjang membuatku pusing sekarang, padahal dulu aku sering bermain dengan hujan sampai basah kuyub dan tidak akan terjadi apa-apa padaku. Aku sangat pusing. Namun aku tetap berusaha ‘hadir’ untuk teman-temanku. Tidak bisa aku berpaling atau menunduk untuk menghilangkan pusing, karena aku harus memperhatikan kata-kata mereka melalui bahasa isyarat. Aku bukan memaksakan diriku, bagiku ini adalah kesempatan untuk mengenal mereka lebih jauh lagi. Mengenal teman-teman baruku yang luar biasa. Mungkin orang lain menganggap mereka tidak sempurna atau tidak normal. Namun bagiku mereka adalah keajaiban. Semangat, perjuangan dan kesetiakawanan mereka lah yang membuatku semangat hadir dalam rapat Walitura dan semangat untuk belajar bahasa isyarat.
Teman-teman Walitura sedang membuat program untuk sosialisasi bahasa isyarat (sobis). Karena selama berbulan-bulan, tidak ada kemajuan yang signifikan. Aku semakin kagum karena mereka semangat untuk terus sosialisai dan mereka juga menyambut dengan antusias usul dari Ayu, seorang penterjemah bahasa isyarat, yang membagi sobis menjadi 3 kelompok. Kelompok huruf abjad, kelompok kosakata, dan kelompok pantonim. Mereka juga mempercayai aku untuk menjadi penterjemah dan membantu teman dari kelompok huruf abjad.
Aku semakin pusing. Aku membuka-buku buku notes milik Ayu, notes yang berisi nomor-nomor telepon. Ayu seorang seniman dan pelukis wajah, tak heran apabila di halaman notesnya ada gambar dirinya dalam bentuk kartun. Aku membaca sekelumit kata-kata mutiara di bawah notes itu, intinya tentang kehilangan. Apa yang dia miliki pernah dia rasakan, pernah dia sayangi dan dia pernah berbahagia bersamanya. Hebatnya, dia menulis bahwa dia juga harus berbahagia saat dia kehilangan yang dia miliki, karena semua yang dimiliki juga akan hilang.
Aku terharu. Seandainya aku memiliki konsep seperti itu, pasti aku tidak akan sedih dan sangat menyesal ketika mengingat papa. Aku hanya tidak merelakan bahwa papa yang kumiliki pergi sangat cepat dan dalam sakitnya. Seandainya waktu bisa diputar. Seandainya aku iklas. Seandainya…
Aku masih pusing ketika teman-teman saling bercanda dan mengejek, tapi aku tertawa juga. Karena aku bahagia.
Komentar
Posting Komentar