Temanku
Saat kau memutuskan
untuk menjalani hubungan itu lagi, itu kan artinya kau siap dengan segala
resiko. Sehingga kau tidak berhak untuk menuntut orang itu atas perasaan sakit
hatimu yang ditimbulkannya. Begitulah kata-kata yang sebenarnya ingin kuucapkan
kepada temanku. Kata-kata yang akhirnya kutelan kembali karena kupikir dia
pasti tidak ingin mendengarkan nasehat lain selain rasa empati terhadap
perasaan sedihnya sekarang. Hati yang terluka. Perbuatan yang tidak
memanusiakan. Dan rasa sayang semu yang menutupi maksud hati yang sebenarnya. Seperti
Delila yang mencintai Samson karena ingin
mencari tahu kelemahan tubuhnya yang tidak terkalahkan itu.
Dalam jarak ratusan kilometer ini, aku mendengarkan cerita yang hampir sama
yang sering kudengar sejak 4 tahun terakhir. Aku mendengar tangis yang sama.
Kejadian yang sama. Serta kata-kata yang sama kuucapkan untuk menanggapi cerita
itu, dia memang tidak punya hati, tidak
punya sesuatu hal untuk dibanggakan bahkan sifatnya pun tidak. Untuk apa masih
dicintai? Lebih baik mencari yang lain saja. Yang akhirnya dibalas dengan
sedu sedan. Membuatku semakin sedih karena tidak bisa berbuat banyak untuk
temanku yang telah melihat cintanya dalam sisi yang berbeda.
Satu hal yang membuatku kagum dari temanku adalah keteguhan hatinya untuk
terus memberi kesempatan kepada orang yang selalu menyakitimu. Meskipun setiap
kesempatan yang dia berikan selalu menuntut perubahan dari temanku. Temanku
yang rela merubah penampilan hanya untuk bisa bersaing dengan mantan-mantan
lelaki itu. Temanku yang selalu sibuk membandingkan dirinya dengan
perempuan-perempuan jaman sekarang, yang katanya modis dan cantik. Temanku yang
membuang air mata percuma hanya untuk meminta lelaki itu mengiriminya pesan
singkat dan sedikit perhatian. Perubahan sikap yang menurutku sangat menguras
tenaga dan perasaannya karena sekarang pikirannya dipenuhi dengan konsep ideal
sosial. Tergeneralisasi oleh kebanyakan apa yang orang pikirkan tentang
penampakan fisik. Kalau cantik, putih dan
modis, pasti akan mendapat pacar, pasti dia mau denganku. Atau setidaknya aku
tidak kalah saing dengan yang lain. Padahal, hidup terlalu sepele kalau
hanya dimaknai seperti itu.
“Apa yang kau lakukan sekarang?”
“Aku mendengarkanmu menangis. Menungguimu.” Jawabanku ternyata hanya
menambah isak tangisnya. Membuatku semakin bingung untuk mengungkapkan
kata-kata. Seharusnya kau berhenti
membandingkan dirimu dengan orang lain dan mulai melihat dirimu sebagai pribadi
yang berbeda dari orang lain, pikirku dalam hati. Tetapi temanku tidak
butuh nasehat, dia hanya membutuhkan bahu untuk menangis.
“Iya. Ini sudah melegakan kok.” Akhirnya kami menutup percakapan malam itu
dengan sedikit tawa. Tawa yang mempunyai banyak makna.
Komentar
Posting Komentar