Beda itu spesial



Aku bertemu dengan seseorang yang sepakat bahwa pelajaran paling penting tidak bisa didapatkan di bangku pendidikan formal. ”Ya pelajaran hidup itu didapat dari pengalaman dan keterlibatanmu dalam masyarakat. Bangku sekolah hanya mengajarkan teori yang tidak berkesudahan.” Aku mengangguk bersemangat ketika ‘melihat’ percakapan kami. Melihat bukan mendengar. Karena dia memang tidak berbicara, hanya berisyarat dengan tangan. Berbicara dengan gerak tangan dan tubuh serta ekspresi wajah. Setelah itu banyak lagi pembicaraan mengenai bahasa isyarat dan bagaimana aku belajar bahasa isyarat. Pembicaraan yang begitu menyentuh hati.
          Pelajaran lain kudapat dari desa kecil di Sleman, Yogyakarta bernama Sendangtirto, 19-21 Desember 2014. Desa yang akan mempelopori menjadi desa inklusi pertama di Yogya. Desa itu akan memberi akses fasilitas umum kepada orang-orang difabel sehingga mereka  bisa menikmati fasilitas umum seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan lain-lain tanpa kesulitan. Dari kegiatan ini juga aku baru mengetahui bahwa ternyata ada banyak komunitas yang telah memperjuangkan hak-hak difabel mengenai kesetaraan. Suara mereka lantang untuk berjuang namun banyak orang tidak mendengar. Kalaupun perjuangan mereka dilirik oleh media atau pihak-pihak lain, pasti ada hal-hal yang dilebih-lebihkan dalam pemberitaannya. Sebagai contoh berita dengan judul “meskipun tanpa kaki, dia mampu menamatkan pendidikan......”. Selalu ada kalimat yang kontradiksi, sehingga orang hanya akan melihat kecacatannya bukan pada prestasinya. Hal ini jugalah yang kudapat ketika aku menjadi juru bahasa isyarat dalam workshop jurnalisme. Pemberitaan media bisa menjadi pedang bermata dua bagi kaum difabel. Membantu mereka untuk memperjuangkan hak, namun juga membuat mereka tetap dipandang rendah karena pola pikir yang salah dalam masyarakat. Ilmu baru yang tidak kudapat dari bangku pendidikan yang kutempuh.
          Aku pasti menyesal kalau tidak mengikuti acara ini, karena sehari sebelum berangkat, ada keragu-raguan dalam hati untuk datang. Apakah aku mampu menjadi juru bahasa sedangkan ini saja pengalaman pertamaku. Apalagi tema yang akan diusung memiliki kosakata yang sulit yaitu mengenai undang-undang desa dan jurnalisme. Namun tiga hari yang kulewati bersama teman-teman yang baru kukenal membuat jiwa sosialku semakin ‘dewasa’. Ketika pemikiran yang baru telah tertanam dan rasa untuk membantu semakin besar. Entah melalui tulisan dalam media massa atau keterlibatanku dalam komunitas tuli Salatiga.

          Beda itu spesial!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 8th

WALITURA

Terminal Semester Ini