Batasan
Kita itu tidak bebas. Kita terikat batasan-batasan. Tidak bisa menentukan
dan tidak bisa benar-benar berdiri di atas persepsinya sendiri. Selalu ada
persepsi yang mendahului dan kita harus mengikuti hal itu. Contoh sederhananya
adalah bahasa. Tanpa kita sadari kita terikat dengan bahasa yang terlebih
dahulu eksis daripada kita. Kita diatur untuk mengatakan bahwa sesuatu yang
mempunyai empat kaki penyangga, bisa digunakan untuk meletakkan benda dan yang
terbuat dari kayu adalah meja. Kita tidak bisa menyebut benda itu dengan kata
yang lain.
Teman saya, seorang berkebangsaan Chili, datang ke Salatiga untuk belajar
bahasa Indonesia. Dia berusia 36 tahun. Dia mengatakan kepada saya bahwa
sebelum dia datang ke sini, dia tidak mempunyai masalah dengan status
lajangnya. Tetapi semenjak dia bertemu dengan orang-0rang yang selalu bertanya
‘sudah menikah belum’, hal ini membuatnya berpikir tentang pasangan hidup.
Inilah batasan budaya yang masih mengukung orang-orang disekitar saya dan
termasuk saya.
Bahkan Levi Strauss menjelaskan bahwa budaya terdiri dari aturan
tersembunyi yang mengatur perilaku praktis. Aturan ini turun temurun dan
mengakar kuat dalam setiap individu. Menjadikan individu-individu sebagai pion
struktur.
Saya sadar gender saya juga termasuk dalam struktur. Sudah sewajarnya kalau
wanita itu mengikut laki-laki. Dan sekarang ada yang ingin memiliki langkah
saya. Bukan Sang Pemilik Kehidupan tetapi salah satu ciptaanNya. Dia ingin
mendikte saya dan berdalih ingin mewujudkan cita-cita bersama, membangun proyek
masa depan yang sama serta menjanjikan hari depan yang penuh harapan. Membujuk
saya untuk berpikir rasional dan meninggalkan segala ke’idealis’an saya. Buat apa memikirkan hal yang muluk-muluk
kalau di depanmu sudah ada hal yang pasti dan begitu menjanjikan? Ingat,
pikirkanlah keluargamu, adik-adikmu juga masih butuh tuntunan.
Saya terbatas. Saya merasa kalah dengan waktu yang sudah terjalin dan
sangat menjanjikan. Ada rasa takut untuk meninggalkan kenyamanan itu. Saya
kalah dengan label anak pertama dan tanggung jawab yang secara alami melekat
dalam diri saya. Hal-hal yang membuat saya bimbang ketika saya harus menentukan
hidup saya.
Di sisi lain, saya mengakui bahwa saya tidak keberatan dengan dominasinya
di dalam hidup saya. Bagaimana rencana-rencananya mengenai hidup kami. Tetapi saya
tidak yakin itulah yang benar-benar saya inginkan. Sekali lagi, kalau kita
mengatakan bahwa kita adalah orang yang bebas, sebenarnya kita adalah orang
yang paling terikat yang hanya berusaha untuk bebas. Kalau kita mengatakan
bahwa kita adalah orang yang paling bahagia, sebenarnya kita hanya berusaha
membuat diri kita bahagia.
Saya butuh waktu untuk berpikir. Membuat diri saya semakin eksis. Seperti
yang dikatakan Descartes: Cogito Ergo Sum. Saya berpikir maka saya ada.
Komentar
Posting Komentar