Coming Back!


I’m coming back!
Entah berapa lama saya tidak menulis. Kegiatan yang memadat menjelang akhir tahun memaksa saya untuk terus bergerak dan berpikir. Acara gabungan pemuda di gereja pada akhir Oktober menyita seluruh energi dan pikiran saya. Dan meninggalkan kelelahan yang luar biasa setelah acara selasai. Bahkan dalam persiapannya, saya ambruk selama dua hari. Hanya bisa meringkuk di tempat tidur. Tetapi setelah itu, dengan kepala yang masih pusing, saya harus tetap bergerak dan melakukan aktivitas.
Belum sempat bernafas lega, acara Natal telah menanti. Total ada tiga acara natal yang butuh campur tangan dan tenaga. Terlintas dalam bayangan untuk bersikap apatis, tetapi bagaimana mungkin kita diam saja kalau kita tahu bahwa ada yang membutuhkan pertolongan, sementara kita mampu untuk menolong?
Selain itu, tanggung jawab sosial yang saya sandang sebagai sarjana terus memaksa saya untuk tidak berpangku tangan saja. Karena setiap hari saya melihat tatapan penasaran orang dan pertanyaan sekarang-kerja-apa. Saya tidak risih ataupun malu karena saya belum mempunyai pekerjaan tetap, tetapi saya hanya berpikir kalau saya memang hidup dalam budaya yang penuh dengan orang yang suka gotong royong. Mereka akan dengan rela hati gotong royong membicarakan masalah tetangga mereka tanpa disuruh.
Tetapi saya adalah pengajar bahasa Indonesia. Selama hampir satu setengah tahun saya menjadi penolong bahasa yang datang dari satu rumah ke rumah yang lain. saya memulainya sejak saya berada di tingkat akhir universitas. Pekerjaan ini cukup fleksibel dan menantang. Saya bekerja freelance dan ini terus melatih bahasa inggris saya. Jadi seringkali saya terlihat sangat sibuk, tetapi tidak jarang pula saya terlihat seperti pengangguran.
Setelah itu, saya mulai mengikatkan diri saya pada yayasan. Home tutoring di pagi hari dan mengajar bahasa Indonesia di yayasan tersebut pada siang hari serta les privat di malam hari. Memang cukup padat, bahkan tidak menyisakan waktu bagi saya untuk istirahat. Tetapi saya mau melakukannya karena ada tujuan yang ingin saya capai. Kesadaran bahwa suatu saat saya akan meninggalkan keluarga saya membuat keputusan untuk menetap sementara waktu di Salatiga. Saya bisa membantu kelurga secara finansial dan ikut mengawasi adik-adik saya.
Mengajar di yayasan menimbulkan pengalaman baru. Bagaimana saya harus berhubungan dengan rekan kerja yang lain dan murid-murid yang berbeda latar belakang? Kebanyakan murid-murid di yayasan berasal dari Amerika Latin. Mereka berbicara sedikit bahasa inggris, sehingga mau tidak mau saya harus berhubungan dengan bahasa Spanyol.
Kelas pertama saya adalah dua orang ibu. Salah seorang dari mereka bisa mengerti bahasa Inggris, tetapi ibu yang lain hanya bisa berbahasa Spanyol.  Dan setiap kali mengajar, ada tiga bahasa yang berdengung di dalam kelas. Menjelaskan bahasa Indonesia dalam bahasa Inggris, lalu menerjemahkan lagi ke dalam bahasa Spanyol. Suatu kali kami belajar tentang pengucapan. Dari materi yang diberikan, saya mengajar bagaimana mengucapkan kata-kata tersebut dalam bahasa Indonesia dengan benar. Dengan aktif mereka mengikuti saya dan bertanya apa arti kata-kata tersebut.
“Mengapa tidak ada nama perempuan di dalam kata-kata ini?” tanya salah seorang ibu dalam bahasa Inggris. Saya meringis dan mengangkat bahu. Setelah itu kami membahas tentang posisi perempuan di negara ini.
“Bagaimana dengan laki-laki dan perempuan yang tidak menikah?” pertanyaan ini membuat saya berpikir jauh. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara laki-laki dan perempuan. Paman tiri saya sudah separuh baya dan tidak menikah. Tetapi orang-orang di sekitarnya tampak menghargai keputusannya ini. Mereka hanya berpikir bahwa dia adalah seorang yang tidak mau direpotkan dengan keluarga dan sangat pemilih. Lain halnya dengan teman saya, dia berada di ujung kepala dua. Tetapi tetangga membicarakannya dengan nyinyir. Mengatai dia pemilih, tidak laku, tidak ada laki-laki yang mau dengannya dan lain-lain.

Kening mereka berkerut ketika saya menjelaskan dengan gamblang apa yang dikatakan orang tentang posisi laki-laki dan perempuan. Mencerikan kasus-kasus yang ada. Tetapi  bukan maksud saya untuk berusaha menjatuhkan posisi laki-laki dan mengangkat perempuan. Hanya memamparkan fakta. 
Saya tersenyum. Mereka selalu berpikir tentang kesetaraan. Bahkan dalam hal sepele seperti ini pun mereka cepat tanggap. Sedangkan perempuan di sini masih merangkak untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Syukur-syukur bisa menikah tepat waktu dan hidup bahagia. Kalau tidak ya menjadi menjadi pelampiasan amarah suami atau menjadi cadangan pembantu rumah tangga. Memang tidak semua perempuan diperlakukan seperti itu, tetapi masih banyak yang mengalami seperti itu. 
Ini pengalaman baru. Saya tahu setiap hal membuat saya semakin kaya dengan perasaan. Entah itu buruk, baik, sedih atau senang. To make it short, I'm tired but I'm happy with all those activities. It keeps me occupied and distracts from the past!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 8th

WALITURA

Terminal Semester Ini