Feminis atau Bukan?
Saya ingat ketika saya berdiskusi tentang feminisme dengan murid saya di
kelas. Dia adalah murid yang kritis dan masih kuliah di suatu universitas
negeri yang cukup terkenal. Meskipun waktu itu adalah pertemuan kedua, tetapi
dia sudah mengajak berdiskusi tentang ideologi-ideologi yang dia mengerti. Sampai
akhirnya, dia menemukan bahwa saya suka sekali mempelajari tentang feminisme. “Kalau
kamu feminis, kenapa kamu mau menikah cepat?” begitu pertanyaannya.
Aku hanya tersenyum. “Apakah feminisme itu hanya semata-mata menentang
dominasi laki-laki? Atau melakukan
sesuatu yang wah seperti Friedan yang
menulis buku lalu mempelopori berdirinya suatu organisasi wanita yang berdampak
besar di Amerika Serikat?”
Dengan tegas saya menjelaskan bahwa feminisme itu bukan melulu tentang
perempuan yang selalu menentang laki-laki. Atau gambaran dari perempuan mandiri
yang sudah tidak mau lagi diatur oleh tatanan sistem dan hanya ingin mendirikan
aturannya sendiri. Tidak! Bagi saya, feminisme adalah kesempatan bagi wanita
untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin tanpa ada halangan, bahkan
halangan gender sekalipun.
Ketika saya pergi ke Kalimantan Barat, saya lihat poster-poster besar milik
sebuah partai yang mengkampanyekan calon gubernur Kalbar. Calon gubernur itu adalah
perempuan! Itulah feminisme. Tidak ada alasan lagi bagi seorang perempuan untuk
tidak maju. Kami, perempuan, bisa menjadi apa saja selama kami masih mampu.
Feminisme menurut saya sangat sederhana sekali. Ketika seorang perempuan
melakukan sesuatu dengan tulus dan senang hati, bahkan dia bisa membebaskan
pikirannya dan berkembang, dia sudah tidak tertindas. Banyak wanita yang bangga
dengan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Mereka mendidik anak-anak sampai
anak-anak itu menjadi generasi yang berhasil. Namun ada juga wanita yang memilih
tampil di depan umum menjadi politikus, dokter, tentara, polisi dan lain
sebagainya. Kita tidak bisa mengatakan bahwa ibu rumah tangga adalah perempuan
tertindas karena mereka tidak bisa melakukan apapun selain urusan rumah tangga.
Atau mengatakan bahwa wanita karir adalah femiis sejati. Golongan perempuan
mana pun tidak bisa disamakan atau dikatakan tertindas, karena setiap perempuan
mempunyai tugasnya masing-masing. Setiap perempuan mempunyai hasrat yang
berbeda akan dunia ini. Selama mereka bisa mengembangkan dirinya dan
membebaskan pikirannya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, mereka adalah
feminis-feminis.
Kembali lagi ke pertanyaan ‘mengapa saya menikah cepat?’. Alasan saya
adalah karena laki-laki dan perempuan adalah dua jenis makhluk yang sebenarnya
saling melengkapi. Saya yakin bahwa perempuan bisa hidup mandiri tanpa
laki-laki dan begitu juga sebaliknya. Saya pun yakin bahwa saya sangat bisa
hidup sendiri, apalagi saya sangat
mandiri dan cenderung punya karakter pemberontak. Jadi, i’m not worried of
being single. Namun kesombongan saya ini yang sering menjatuhkan saya. Membuat saya
kurang mempercayai orang lain dan menganggap mereka tidak bisa melakukan
seperti apa yang saya lakukan. Saya selalu menyibukkan diri untuk menyelesaikan
semua tugas di dalam organisasi karena saya sangat perfeksionis. Hasilnya adalah saya selalu mengkritik orang lain,
menjadi cepat marah, kelelahan karena tugas-tugas dan mudah menjadi sombong.
Di dalam pernikahan, saya harus belajar untuk membagi dunia saya dengan laki-laki
yang sudah saya pilih. Saya tidak boleh meragukannya dan harus mempercayainya. Harus
membiarkan dia melakukan tugasnya, apapun hasilnya. Bukankah ini tugas yang
berat bagi saya? Saya punya cita-cita di masa depan. Saya ingin bekerja dengan
masyarakat di pedalaman. Tapi dengan karakter saya yang kurang baik, saya tidak
akan bisa bertahan hidup di pedalaman. Saya hanya akan terus tidak mempercayai
orang lain dan hidup berkutat dengan diri saya sendiri. Jadi laki-laki yang
kupilih harus melengkapi saya dan mengerti dengan cita-cita ini. Bahkan dengan
rela hati mencapai cita-cita ini bersama. Saya tahu bahwa menjadi wanita karir
saja tidak akan memuaskan saya, meskipun orang-orang akan berpikir bahwa saya
bisa melakukan yang laki-laki lakukan. Namun ini semua menyangkut dengan
pembebasan hasrat. Apapun tugas yang saya lakukan, termasuk sebagai istri dan
ibu, sementara saya mencapai cita-cita itu, itulah yang memuaskan saya.
Jadi feminisme bukan semata-mata tentang wanita harus dianggap sama dengan
laki-laki. Karena pada kenyataannya, dua jenis individu itu tidak bisa
disamakan. Kita harus menyamakan hak dan status sosial antara laki-laki dan
perempuan, tapi tidak bisa menyamakan tugas. Karena yang sering kita dengar
adalah ‘kalau laki-laki bisa seperti ini, perempuan juga bisa’. Kalau boleh
jujur, sebenarnya saya juga masih kurang mengerti dengan hal ini. Kalau saya
disuruh untuk memperbaiki genteng, mengecek mesin atau mengangkat galon dan
meletakkannya ke dispenser, saya tidak bisa. Tapi saya bisa memasak, mencuci
baju dan mengurus anak. Meskipun demikian, saya bebas mengembangkan diri dan
meraih cita-cita saya, karena melakukan perubahan itu tidak terkendala oleh
gender.
Komentar
Posting Komentar