Rumah Baru
Mimpi
saya masih sering pulang pergi, berada di setting tempat yang berbeda-beda.
Kadang-kadang berada di rumah dimana saya tumbuh waktu kecil. Sering juga
berada di rumah orang tua saya di Salatiga. Bahkan sesekali ada di rumah baru
saya di Manado, bukan, lebih tepatnya di pinggiran kota Manado. Pernah suatu
kali saya bermimpi, yaitu ibu saya, tante saya yang menggendong adik bayi saya
datang ke rumah di Manado. Mereka naik motor! Saya sangat terkejut melihat
mereka ada di depan pintu dan segera meminta mereka istirahat. Tidak percaya
karena mereka melintasi trans Sulawesi dari ujung selatan ke ujung utara. Namun
untung saja itu hanya mimpi. Manifestasi dari kerinduan saya kepada ibu saya
dan kebiasaan ibu saya naik motor kemana-mana. Namun yang jelas, banyak sekali
mimpi yang datang tentang keluarga saya beberapa hari terakhir ini. Satu per
satu anggota keluarga kesayangan saya muncul dalam mimpi saya. Lalu membuat
saya bingung ketika bangun, karena saya selalu bertanya ‘di mana saya?’ Setelah
beberapa saat mengerjap-ngerjapkan mata, saya baru sadar kalau saya ada di
kamar baru, di tempat yang sebenarnya masih asing bagi saya.
Rumah
kami, sebenarnya lebih tepat kalau disebut asrama berderet. Ada sekitar 6 pintu
yang membagi asrama-asrama itu, masing-masing untuk keluarga-keluarga dan para
bujang. Baru 2 bulan kami menempati asrama itu. Baru 2 bulan juga kami
mulai kehidupan baru kami. Sudah sejak lama, saya dan Deni merencanakan untuk
pergi ke pinggiran kota Manado ini untuk mengikuti training pelayanan. Kami
selalu semangat dengan rencana ini dan mulai menabung untuk pergi ke Manado.
Namun ketika hari kepindahan kami hampir tiba, perasaan melankolis langsung
datang dan membuat saya ragu untuk pergi. Meskipun semangat membara, namun
istilah ‘mangan ora mangan sing penting kumpul’ mempengaruhi saya, karena saya
tumbuh dalam budaya Jawa. Lalu saya ingat lagi arti hidup ini bagi saya,
melihat kembali tujuan hidup saya, melihat kasih Tuhan dalam hidup saya. Jadi
begitulah akhirnya, kami meninggalkan semua yang ada di Salatiga dan mulai
‘merantau’ untuk mencari ilmu.
Lalu
biarkan saya ceritakan sedikit kehidupan di tanah orang ini. Asrama-asrama ini
mengelilingi lapangan sepak bola yang besar. Ada kantor sekolah, rumah-rumah
staff, kebun sekolah, guest house, ruang kelas, dan chapel di sekitar komplek
kampus. Kebetulan asrama kami ada di dekat sungai kecil, jadi adik saya yang
ikut kami ke Manado bisa memancing setiap hari, sekedar untuk mendapatkan
ikan-ikan kecil. Training ini sudah seperti Indonesia mini. Ada banyak orang
dan keluarga dari budaya-budaya yang sangat berbeda dengan saya. Dan jangan
tanya, fisik mereka juga berbeda. Kebanyakan dari mereka berasal dari suku-suku
kecil di pelosok Indonesia. Dengan tekad yang besar, mereka datang ke kota
untuk belajar. Lalu kembali ke daerah mereka lagi untuk melayani di sana. Saya
banyak belajar dari mereka. Bagaimana mereka berbagi makanan dan barang-barang,
bagaimana mereka mengajak saya ke kebun untuk memetik sayur liar, bagaimana
mereka mengajari saya bertingkah supaya tidak membuat orang lain marah. Kadang
saya merasa tidak bisa menampung semua yang baru, sehingga saya memilih untuk
berbaring di kamar saya. Semua terasa berbeda, kawan. Bahasa dan dialek di
sini, makanan, orang-orang, cuaca, pasar, lingkungan, semua berbeda. Dan kami
tidak bisa bebas ke mana saja karena kami tidak punya alat transportasi dan
tidak punya banyak uang untuk menyewa taksi ke kota. Tapi saya tidak mengeluh,
saya hanya perlu waktu untuk terbiasa dengan semua ini.
Ya
begitulah, kami, terutama saya, sedang belajar di tempat baru. Bagaimanapun
juga, saya yang tumbuh dalam satu budaya masih harus belajar dalam pluralitas
budaya dan keluar dari zona nyaman saya.
terdengar menyenangkan berada di sana kawan :)
BalasHapus