Dikhianati oleh Ekspektasi
Selama
hampir satu bulan sejak Nela lahir, perasaan saya jadi tidak menentu. Sering
menangis setiap sore, sering merasa kesepian, mudah marah dan tersinggung.
Merasa selalu ingin ditemani tetapi Deni juga sibuk dengan kegiatan sekolah dan
kerja. Ditambah lagi ada rasa tidak mampu mengungkapkan apa yang ada di dalam
hati. Ketika menangis, saya selalu merasa lemah, tidak mampu, helpless dan
merasa bersalah. Kenapa saya harus seperti ini? Bukankah menanti Nela lahir ini
adalah keinginan saya? Bukankah sejak lama saya terus membayangkan betapa
menyenangkannya merawat bayi.
Waktu
saya hamil, ada beberapa ibu yang bertanya apakah nanti ada keluarga yang
datang sewaktu saya melahirkan. Tentu saja tidak ada. Jawa Tengah dan Sulawesi
Utara cukup jauh bagi keluarga saya. Apalagi dengan ongkos perjalanan yang
sangat mahal tidak memungkinkan mereka untuk datang. Ibu-ibu itu hanya
mengangguk dan berkata bahwa ada banyak ibu di sini yang akan membantu. Dalam
hati juga ada pikiran yang sombong yaitu bahwa take care of a baby is not that
hard. Karena saya pernah membantu merawat dua adik dan satu sepupu yang masih
bayi. Memandikan mereka, mengganti popok, menidurkan bayi, menyuapi makan dan
lain-lain. Jadi pasti saya bisa melewati fase ini dengan mudah. Namun ternyata
saya tidak semudah yang saya bayangkan. Saya terus merasa sedih, kecewa dan
marah. Marah kepada diri sendiri karena tidak bisa mengatasi perasaan sedih
ini.
Kadang-kadang
juga perasaan marah saya lampiaskan kepada Deni. Saya hanya diam dan put a
poker face ketika dia pulang. Sekali lagi, saya tidak mampu mengungkapkan apa
yang saya mau. Saya merasa saya tidak boleh menuntut Deni untuk membantu saya
karena merawat anak adalah tugas saya dan Deni punya tugas lain. Kalau saya
masih membebani dia dengan tugas domestik, itu terasa tidak adil. Jadi setiap
kali saya menangis dan menjadi sedih,
serta perlu pertolongan, saya langsung menyalahkan diri sendiri. Berusaha
membuang jauh-jauh perasaan itu karena memang tidak selayaknya seorang ibu
merasa kecewa, atau membebani suami dengan tugas domestik.
Saya,
lebih tepatnya kecewa terhadap diri sendiri. Kecewa bahwa apa yang saya
harapkan mudah ternyata tidak semudah itu. Saya merasa dikhianati oleh
ekspektasi saya. Seharusnya semua menjadi menyenangkan, karena begitulah yang
saya lihat. Setiap ibu yang punya bayi baru selalu terlihat senang. Dikelilingi
teman dan keluarga, tiada henti tersenyum sambil memamerkan bayinya, tersenyum
lebih lebar ketika orang-orang memuji bayinya. Bahkan mama saya yang punya
banyak anak dan dua anak terakhir yang lahir ketika keluarga sedang dihantam
banyak masalah pun terlihat oke oke saja. Namun kenapa saya sedih.
Suatu
hati, seorang tetangga mampir ke rumah. Dia hanya bertanya satu pertanyaan
‘Semua baik-baik saja?’. Pertanyaan itu tidak mampu menahan air mata saya.
Sehingga dengan perasaan malu, saya menangis di depannya. Responnya yang
membuat saya lega. Dia berkata bahwa bahkan suaminya pun ikut menangis ketika mereka punya bayi. Semua ibu
mengalami hal yang sama seperti yang saya rasakan. Baby blues, they call it.
Saya masih berusaha membantah perasaan ini dengan memaparkan bahwa ibu-ibu yang saya tahu terlihat bahagia dan
normal setelah mempunyai bayi. Tapi dia hanya berkata ‘kita tidak pernah tahu
apa yang mereka rasakan. Mereka terlihat bahagia karena mungkin mereka keluar
rumah dengan pakaian yang bagus, rapi, bayi yang sudah didandani dan semua
orang senang melihatnya. But no one would ever know what truly happens.’ Saya
hanya mengangguk dan speechless. Masih berusaha untuk menolak informasi yang
baru saya tahu.
Pengalaman
yang akhirnya mengajari saya. Setelah satu bulan, ketika semua sudah mulai
berjalan normal, saya mulai ikut kelas lagi, Nela sudah bisa tidur malam, saya
merasa nyaman dan bahagia luar biasa. Saya bersyukur dengan segala hal yang
saya alami. Perasaan lelah yang sering datang, rasa sakit di payudara dan tidur
malam yang masih terganggu. Sekarang saya baru percaya kalau semua ibu
mengalami baby blues setelah melahirkan. Hanya implementasinya saja yang
berbeda. Banyak ibu yang dikelilingi oleh keluarga yang siap menolong dan
memuji si ibu, sehingga membuat si ibu merasa terhibur. Atau ada juga yang
merasa stress sampai membuat asi keluar sedikit. Tapi yang jelas bagi, merasa tidak mampu itu penting sekali. Saya tidak perlu malu mengakui bahwa saya tidak mampu. Saya perlu
suami, karena memang hanya dia yang saya miliki. Saya tidak boleh membiarkan
kemandirian saya menghambat saya untuk menjadi dewasa. Memang perasaan itu mendorong
kita untuk terbuka terhadap pertolongan orang lain.
Komentar
Posting Komentar