Kuliah di Pabrik

 Jumat, 13 Juli 2012

Pabrik rokok Sampoerna sangat besar dan luas. Di dalamnya terdapat ribuan karyawati yang memiliki tangan sepercepat untuk membuat tembakau-tembakau menjadi satu wujud rokok. Aku memandang mereka dengan takjub. Apakah aku bisa bekerja seperti mereka? "Kerja di sini harus semangat." kata seorang mandor sambil membetulkan topi kerjaku dan membimbingku ke deretan orang yang tengah membuat rokok. Iya, dimanapun kita berada, kita harus semangat. Tidak boleh menyerah hanya karena merasa tidak mampu untuk melakukan. Mandor tersebut mengajariku memesut (merekatkan lem pada cigaret dan mengecek apakah rokok tersebut layak) dan mengelem puluhan cigaret dalam waktu yang bersamaan. Dengan gugup aku mematuhi perintah-perintah tersebut. Takut membuat kesalahan.

Seorang wanita yang berada di sebelahku tersenyum padaku. "Sudah berapa lama kerja di sini mbak?" Tania. Aku mengetahui namanya dari kertas yang ditempel pada gilingan rokoknya. "Baru sebulan kok. Ngisi waktu daripada nganggur di rumah." Jawabnya tanpa berhenti menggiling rokok. Obrolah demi obrolan pun mengalir. Dari situ pun aku tahu bahwa dia adalah seorang single parent dari 2 orang balita laki-laki. Fakta yang membuatku kaget karena dia masih sangat muda, umurnya pun baru 23 tahun. Obrolan terhenti saat seorang mandor menyuruhku mengambil gilingan rokok di bengkel. Setelah itu, aku diajari cara membuat rokok. Aku berusaha memahami setiap langkahnya karena aku tanganku benar-benar kaku ketika memegang cigaret. Aku takut tanganku basah oleh keringat dan merusak cigaretnya. Aku semakin atkut dan gemetaran saat aku melakukan kesalahan berulang kali dan belum mengerti cara membuat rokok. Dan aku hanya diam dan terus mencoba membuat rokok sampai akhirnya mandor tersebut meninggalkan aku.
 "Kalau disini dimarahi itu hal biasa, aku juga sering dimarahi kok." Aku memandang ke arah mbak Tania dan tersenyum. Iya mbak. "Sebenarnya aku juga sudah nggak betah kerja disini, rasanya pengen keluar."
"Kenapa kok pengen keluar mbak?"
"Males. Kerja seperti pembantu. Aku kan hanya ngisi waktu sambil nunggu wisuda hari senin kemarin itu." Keningku berkerut mendengar pernyataannya. Lalu mbak Tania tertawa. "Aku kan kuliah di jurusan Bimbingan Konseling UKSW angkatan 2007. Sambil nunggu wisuda, aku kerja disini. Lumayan buat beli susu anakku."

Aku tidak mengerti, namun aku kagum dengannya. Dia seorang singgle parent, dengan anak double. Dan masih menyempatkan diri untuk kuliah, meskipun mantan suaminya pun tidak suka melihatnya kuliah. Aku tidak ingin melihat masa lalunya, apa yang menyebabkan dia harus menikah di usia 20 tahun, saat tahun kedua kuliahnya. Dia rela menuntut ilmu sambil mengandung anaknya. Seharusnya aku juga punya tekad seperti mbak Tania dan mengalahkan diri sendiri. Bukannya aku menyenangkan diriku sendiri. Membiarkannya tidak belajar dan hanya membuang-buang waktu saja.Tapi apalah gunanya melihat semangat orang lain kalau aku tidak berusaha. Setidaknya kuliahku harus jadi prioritasku sekarang, karena selama inipun aku berusaha agar aku tetap punya uang saku untuk kuliah. Aku harus semangat, seperti kata mandor.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 8th

WALITURA

Terminal Semester Ini