Ilmu apa yang didapat?
Teman saya membuat status yang sangat gusar akhir-akhir ini. Intinya tentang
usianya yang sudah tidak muda lagi, waktunya yang singkat, ucapan selamat
tinggal dan tentang hidupnya. Membaca statusnya itu, saya terdorong untuk
mengirim pesan kepadanya. Dan bertanya tentang kabarnya sekarang ini. Tahulah saya
bahwa dia memang sedang bergumul dengan pekerjaan. Di usianya yang menginjak 26
tahun ini dia ingin segera mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan lowongan pekerjaan
yang dibuka mempunyai batas maksimum bagi pelamar yang baru lulus. Sehingga semakin
dia bertambah usia, maka akan sulit mendapatkan pekerjaan yang tetap. Yang mapan
dengan ijazah sarjana katanya.
Saya mafhum. Mendapatkan ijazah adalah suatu perjuangan keras selama empat
tahun masa kuliah, tetapi mendapatkan pekerjaan setelah lulus adalah perjuangan
yang lebih keras. Kita akan
diperhadapkan dengan dunia persaingan yang nyata dan luas. Orang-orang di
sekitar saya sering bercerita bahwa tidak ada jaminan yang pasti bagi mahasiswa
fresh graduate untuk mendapatkan
pekerjaan. Belum tentu juga mahasiswa dengan IPK yang tinggi bisa dengan cepat
mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Belum tentu juga mahasiswa dengan IPK yang
ala kadarnya akan jadi pengangguran setelah lulus. Tidak ada garansi. Tidak ada
ukuran pasti.
“Susah mencari pekerjaan dengan gelar sarjana sastra. Lulusan IT atau
ekonomi pun bisa berbahasa inggris.”
Saya mengerti. Sebagai mahasiswa sastra, kami memang belajar untuk berpikir
kritis, penuh analisa dan tentang filsafat. Yang sebenarnya tidak begitu
dibutuhkan di dunia nyata. Siapa orang yang mau bersusah payah memikirkan
filsafat sedangkan yang dia butuhkan adalah pekerjaan tetap untuk menyambung
hidup?
Saya teringat kembali ketika saya akan lulus dari SMA. Ketika teman-teman
satu angkatan saya bingung untuk memilih jurusan yang akan diambil di
universitas. Pertanyaan besar yang harus kami bawa sebelum memilih jurusan
adalah ‘peluang kerja jika mengambil jurusan itu.’ Sehingga apapun yang kami
pilih nanti, kami harus memikirkan pekerjaan apa yang mungkin dilakukan dengan
setelah lulus dengan gelar tersebut.
Sampai salah seorang sahabat saya sewaktu SMA berkata, “Mengapa mereka
selalu bertanya ‘bisa kerja apa setelah lulus’! Mengapa mereka tidak bertanya ‘ilmu
apa yang didapat setelah lulus!’” saya ingat ekspresi kesalnya ketika
mengatakan hal itu. Dan saya membenarkan perkataannya.
Sekarang saya melihat kenyataannya memang berbeda. Bagaimana bisa aplikasi
ilmu di tengah kebutuhan hidup yang mendesak? Memang membahagiakan kalau bisa
bekerja sesuai dengan bidangnya, tetapi kalau tidak juga tidak bisa memaksakan
diri.
Tidak munafik pula bahwa saya mengidamkan pekerjaan yang mapan sehingga
bisa membantu keluarga saya, tetapi saya tetap percaya bahwa kuliah bukan
sekedar mencari bekal untuk pekerjaan saja. Itu adalah sarana untuk belajar,
mengasah otak dan menggunakannya agar tidak tumpul, serta mengasah kemampuan
untuk bersosialisasi. Saya menikmati semua proses belajarnya meski tidak melulu
berada di kampus dan setiap hari belajar. Dan saya percaya kalau kita semua
pasti disiapkan untuk suatu pekerjaan. Tidak perlu mengejar apa yang sebenarnya
sudah sepantasnya menjadi hak kita.
Komentar
Posting Komentar