Undang-Undang yang Tidak Berlaku


Saya melihat wajah pias teman saya, Devi, ketika wanita itu mengatakan penolakan. Teman saya tidak bisa bekerja di pabrik itu. Memang dia tidak bisa mendengar, tetapi mimik dan ekspresi wanita itu telah mengatakan segalanya. Devi melihatnya. Dengan isyarat pelan, Devi mengajak saya keluar.

“Ya mungkin undang-undang tidak berlaku disini.” Kata saya sambil tersenyum dan pergi meninggalkan ruangan itu. Saya berusaha memamparkan undang-undang no 3 tahun 1997 tentang penyandang cacat. Pada pasal 13 pun dituliskan “Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”.
Tetapi semua itu hanya dibalas dengan “Saya sudah bilang dengan atasan dan mereka tidak bisa menerima. Karena pasti mandor akan mengalami kesulitan dalam mengajari.”

Bahkan ketika saya mengutarakan bahwa saya juru bahasa dan teman saya tuli yang ingin melamar kerja, para pelamar yang lain ikut berbisik-bisik bahkan berkomentar ‘mana mungkin.’

Saya tahu mereka punya standar mereka sendiri, namun yang membuat saya kecewa adalah penolakan karena ketuliannya. Mengapa mereka tidak melihat hasil psikotest Devi dulu, setelah itu baru memutuskan bisa diterima atau tidak.

Meskipun Pasal 28 UU Ketenagakerjaan sudah menyatakan:
“Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan pada perusahaannya untuk setiap 100 (seratus) orang pekerja pada perusahaanya”, tetapi penerimaan setiap pemilik modal, orang yang berkuasa, tetap berbeda. Mereka memiliki standar ‘kenormalan’ mereka sendiri.


Dan saya sadar bahwa kesetaraan itu adalah perjuangan yang baru sekarang. Mencari cara bagaimana semua orang bisa menganggap bahwa tuli pun ‘normal’ seperti mereka. Sampai sekarang pun masih banyak orang yang menganggap sebelah mata orang yang tidak bisa mendengar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 8th

WALITURA

Terminal Semester Ini