Menjauhi Peradaban
Aku
melayangkan pandanganku ke belakang dan melihat jalanan berkelok yang sudah
kami lewati. Jalanan ini naik turun bukit dan sempit. Tidak mungkin dilewati
oleh dua kendaraan yang berpapasan. Hutan-hutan mengapit jalanan ini dan
genangan air hujan menghiasinya juga. Kami sudah melewati jalanan kuning yang
berdebu sebagian dan becek di bagian lain selama 1,5 jam. Namun belum ada
tanda-tanda pemukiman di sana. Bahkan meskipun ada ladang-ladang hasil pembakaran
hutan sudah terlihat, tampaknya perjalanan ini masih panjang.
Tiba-tiba
truk berhenti. Beberapa orang mengeluh panjang dan bergumam. Ini adalah tanda
yang sudah kami hafal. Untuk kesekian kalinya kami yang menumpang di truk yang
gagah itu harus turun. Menurunkan resiko ketika terguling, kata sopir truk yang
berbadan kecil itu. Aku ikut meloncat turun dan mulai berjalan maju bersama
rombongan orang-orang Dayak itu. Truk itu dengan mantap melewati jalan yang
berlubang dan becek itu. Teriakan semangat dari beberapa orang mengiringi
gerakan truk yang hampir oleng ke kiri dan ke kanan. Setelah truk itu berada di
atas jalanan yang stabil, kami bisa kembali naik ke punggungnya.
Aku bersemangat melihat beberapa orang yang semangat dengan pertemuan yang akan diadakan di pedalaman gunung Kalimantan ini. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti, namun tidak membuatku kecil hati untuk menjalin hubungan dengan mereka. Meskipun tanganku sudah memerah dan jari kakiku berdarah, aku tetap bisa menikmati perjalanan ini. Percayalah kalau ini berbeda sekali ketika kita akan kemah pramuka dan harus naik truk untuk ke tempat kemah. Aku tidak hanya akan menghadapi krisis air bersih, tidak adanya listrik, kebutaan bahasa, namun juga perbedaan budaya. Tetap saja terbersit dalam hati sebuah ketakutan bahwa aku akan membuat kesalahan karena ketidakmengertianku dengan budaya yang ada.
Setelah
dua jam tergoncang-goncang dalam truk, kami mulai melihat ada penunjuk jalan
dan mulai terlihat sebuah pemukiman rumah panggung. Anak-anak tampak berkerumun
di pinggir desa untuk melihat kami yang datang dan menyambut kedatangan kami
secara informal. Penduduk di sana menyapa aksen bahasa Indonesia yang berbeda
dengan aksen yang kukenal bercampur dengan bahasa daerah mereka. Tapi aku senang
sekali menginjakkan kaki di tempat asing di tanah airku ini. Aku mulai
bertingkah seperti turis yang memandang sekelilingku dengan kekaguman. Indahnya
pemandangan di depanku, uniknya rumah panggung mereka, anak-anak yang malu-malu
dan orang-orang Dayak yang bermukim di situ.
Kami
semua diminta untuk berkumpul di balai desa. Sambil beristirahat, salah seorang
pemimpin menyambut kami dan beberapa ibu menyiapkan teh dan kopi dan makanan
khas mereka. Panasnya kopi dan asingnya rasa makanan itu mengingatkanku bahwa
pengalaman ini nyata. Hal-hal yang kulihat, orang-orang yang kutemui dan
lingkungan yang berbeda ini akan mengajariku selama empat hari ke depan.
Komentar
Posting Komentar