27 Oktober 2018
Pengalaman
bermula dari batang pohon kepala kecil yang disulap jadi tangga oleh penduduk
di desa itu. Tangan kananku memegangi sarung yang melilit tubuhku dan tangan
kiriku memegang baju dan alat mandi. Dengan kaki telanjang, aku dan
teman-temanku menuju ke sungai di belakang rumah yang kutumpangi. Sungai itu
sudah seperti WC umum terbesar. Semua aktivitas belakang dilakukan di sungai. Mandi,
mencuci, berak, kalau kencing masih bisa di belakang rumah (baca : di tempat
cucian piring). Laki-laki, perempuan, tua, muda, dewasa, anak-anak, semua sudah
terbiasa dan menjadikan sungai sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Para
wanita tidak malu pergi ke sungai hanya memakai kemben atau sarung. Seringkali mereka juga ganti pakaian di tempat
terbuka itu. Para lelaki juga tidak pernah merasa termotivasi untuk melakukan
tindakan asusila ketika melihat pemandangan itu. Wanita-wanita tersebut juga
tidak takut terciduk oleh ormas-ormas cerewet yang sibuk menentukan
haram-halal, susila-asusila. Mereka menganggap itu budaya. Hal yang lazim
terjadi. Aku berpikir kasihan sekali dengan beberapa orang yang diberhentikan
eksistensinya, hanya karena dianggap terlalu vulgar. Dulu aku ingat Inul
Daratista yang mulai menggeluti dangdut dan terkenal dengan goyang ngebornya, namun
dia harus diboikot karena katanya dia menimbulkan berahi lawan jenis. Siapakah yang
salah disini? Atau siapakah yang dikambing hitamkan di sini? Jujur, aku
menyalahkan laki-laki yang otaknya diapit selangkangan. Karena sebagian besar
anggota ormas-ormas cerewet tersebut juga laki-laki penggemar istri orang lain.
Aku hanya membayangkan kalau semua wanita ini diberhentikan kebiasaannya mandi
di sungai, punahlah satu budaya asli. Beruntung sekali tidak ada ormas di
daerah tersebut. Namun sekarang aku memang tidak perlu merepotkan mandiku ini
dengan urusan seperti itu. Sekarang aku harus membiasakan diri dengan sungai
ini. Meskipun sebenarnya hal itu tidak mengagetkanku. Waktu kecil aku terbiasa
bermain di jurang dan kadang-kadang juga mandi di sana.
Siangnya, aku dan kawan-kawanku meluangkan waktu untuk berjalan kaki sejauh 3 km untuk melihat bendungan kecil terdekat dari desa. Bendungan itu mengalirkan sedikit tenaga listrik yang cukup menerangi desa itu selama beberapa jam. Seringkali malam-malam di sana hanya diterangi cahaya bulan dan bintang-bintang. Untuk kegiatan-kegiatan tertentu, mereka akan menggunakan genset atau diesel. Ketika sore menjelang, aku semangat sekali untuk segera mencebutkan diri ke air sungai yang dingin. Kedua kalinya mandi dan aku sudah terbiasa.
Komentar
Posting Komentar