Keputusan yang (Mungkin) Tepat
Entah hal apa yang membuatku mengiyakan untuk mengajar di SMP yang hamper ditutup dua tahun yang lalu itu. Aku hanya mengajar Bahasa Inggris, yaitu sejumlah empat jam pelajaran per minggu. Deni mengajar Bahasa Indonesia sejumlah
12 jam seminggu. Proses recruitment ini pun berlangsung dengan sangat cepat. Waktu itu, kepala sekolah memintaku untuk mengajar Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia
dan juga komputer. Namun, aku sadarbahwa aku masih punya pekerjaan dan tanggung jawab di tempat lain. Lagipula aku belum bias menghabiskan seluruh jamku hanya dengan mengabdi. Lalu aku mengatakan bahwa ada seseorang yang bias mengajar Bahasa Indonesia dan aku menunjuk Deni yang sedang duduk di depan kantor guru. Akhirnya tanpa berpikir panjang, bapak yang berperut bundar itu langsung memanggil Deni dan memintanya mengajar. Ketika kami sudah masuk dan bergabung ke sekolah itu, barulah aku tahu kalau system itu memang sangat fleksibel. Bagaimana tidak, sekolah seharusnya sudah masuk tanggal 2 Januari, namun jadwal pelajaran masih belum jadi. Guru-guru juga masih belum masuk efektif pada minggu pertama tahun 2018 ini. Yang membuat kami bingung dan gugup adalah bahwa kami hanya diberi RPP dua tahun yang lalu dan harus mengembangkan sendiri. Tidak ada buku, tidak ada silabus dan buku-buku pelajaran yang sudah kadaluarsa. Bahkan buku-buku yang lusuh itu mempunyai cap dari sekolah lain yang ada di Salatiga. Hal-hal ganjil itu membuatku ingin mundur. Lebih baik aku memanfaatkan waktuku di rumah. Namun sulit sekali bagiku untuk berkata tidak dan mundur dari tanggung jawab ini. Ada perasaan bersalah kalau aku mengiyakan pada awalnya dan mundur ketika sekolah sudah mulai satu minggu.
Minggu kedua ini diawali dengan perayaan Natal sekolah. Aku dan Deni memutuskan untuk menghadiri acara itu. Satu dua guru menyapa kami dan beberapa guru yang lain sibuk menyiapkan acara. Kami masuk ke aula, tempat diselenggarakan acara dan di sana sudah penuh dengan murid-murid. Jumlah mereka tidak banyak, hanya ada sekitar 60an siswa dari tiga kelas.
Kebanyakan dari mereka juga laki-laki yang badannya jangkung dan lebih besar dariku. Aku duduk di bangku paling belakang sambil mengedarkan padangan ke sekeliling ruangan. Beberapa dari mereka mencuri pandang ke arahku dan berbisik-bisik ke pada teman-temannya. Kalau pandanganku dengan murid bertemu, aku hanya bias melemparkan senyum ke arah mereka.
Ya, mungkin aku tahu alasan kenapa aku bertahan. Reputasi murid-murid di sekolah ini adalah rahasia umum. Kami semua tahu bagaimana latar belakang kebanyakan murid di sana. Murid pindahan, dari keluarga broken
home, terjerumus pergaulan bebas, membolos dan lain-lain. Ketika melihat wajah-wajah mereka, ada perasaan ingin dekat dengan mereka dan mendengarkan masalah yang membuat hidup mereka hilang arah. Ada keinginan untuk menunjukkan kepada mereka bahwa sekolah juga bias menjadi tempat yang menyenangkan yang bias mereka jadikan rumah. They deserve more than
anything. Aku sadar bahwa waktu singkatku di Salatiga memang harus kumanfaatkan dengan baik. Membantu sesuatu yang butuh pertolongan dan membantu sesuai kemampuanku. Aku tahu bahwa system sekolah, guru-guru, keterbatasan buku-buku penunjang, dan murid-murid yang sudah dipandang negative tidak akan membuatku bertahan. Hanya rasa kasih saja yang membuatku terus maju.
Komentar
Posting Komentar