Gapapa Kalau Gapapa
Saya dan
Deni baru menikah empat bulan ketika saya tahu bahwa saya hamil. Saya masih
ingat wajah Deni yang penuh dengan sennyuman dan berseri-seri ketika membuka
hadiah yang berisi Pregnancy test. Dia
terus berkata ‘aku akan menjadi ayah! Aku akan menjadi ayah!’. Sebenarnya kami
ingin memiliki anak setelah satu tahun menikah, namun kejutan di bulan ke-empat
ini tetap membuat kami bahagia.
Apakah yang
lebih diinginkan dari pasangan yang baru menikah selain anak? Anak adalah kunci
utama dalam budaya saya untuk menentukan bahwa sebuah pasangan baru itu
berhasil. Hal ini juga kami alami ketika banyak teman bertanya apakah saya
sudah ‘isi’. Tapi dengan sabar kami menjawab bahwa belum waktunya. Bagi kami, merencanakan
untuk mempunyai anak itu penting sekali. Kami ingin mendidik anak-anak kami
sesuai dengan kebenaran firman Tuhan sehingga kami ingin mempersiapkan diri
kami sebagai orang tua. Selain itu, kami ingin pergi ke training misi di pulau
yang berbeda dengan kampung halaman kami. Jadi kami benar-benar ingin
mempersiapkan keluarga kami.
Meskipun
demikian, kejutan di bulan ke-empat pernikahan kami tetap membuat kami sangat
bahagia. Tuhan mempercayakan salah satu anaknya kepada kami. Segera kami pergi
ke puskesmas supaya saya bisa diperiksa dan mendapat buku kesehatan ibu dan
anak. Sekali lagi, kami tidak bisa menggambarkan betapa sukacitanya kami.
Begitu juga dengan teman-teman kami. Mereka ikut bahagia karena kami.
Sepuluh
hari kemudian, semua kebahagian itu berubah menjadi duka bagi kami. Kami harus
kehilangan bayi itu dalam usia lima minggu. Ibu saya panik dan segera menyusul
ke rumah sakit. Dia hanya berkata ‘sudah kubilang, jangan ke makam. Itu bahaya
untuk ibu hamil.’ Saya hanya menangis dan tidak mampu berkata apa-apa. Saya
ingat dua hari sebelumnya saya pergi ke makam ayah saya dan ayah mertua saya,
dan ibu saya menyusul saya di makam. Dia juga memberitahukan hal yang sama. Ibu
saya juga berkata kalau dia bermimpi saya menikah lagi. Dia menyesal karena tidak
membuat syukuran kepada saya, karena arti mimpi itu buruk sekali, yaitu
kematian. Tapi sebagai orang Kristen, saya tidak mempercayai hal itu karena
saya tahu bahwa Tuhan punya rencana.
Lalu
ibu mertua saya dan keluarga besar Deni
datang. Mereka ikut bersimpati atas kehilangan kami. Namun di sisi lain, mereka
juga menyalahkan kesembronoan saya. Mereka mengatakan bahwa saya harus
berhati-hati dan jangan terlalu aktif lain kali. Mereka juga sedikit
menyalahkan Deni yang dinilai kurang hati-hati dalam mengendarai motor. Apalagi
sehari sebelumnya, kami pergi ke luar kota dan melewati jalan yang rusak. Saya
tidak bisa merespon mereka, saya hanya mendengarkan dan menjadi murung.
Sepuluh
hari telah berlalu sejak kehilangan itu. Namun saya merasa ada sesuatu hal yang
belum kembali dalam diri saya. Saya mudah sedih, mudah marah dan sangat
sensitif. Hati saya juga sangat terluka ketika banyak orang berkata ‘tidak
apa-apa, masih belum tiga bulan, masih belum ada rohnya.’ Apakah bedanya memiliki
bayi satu bulan atau lebih dari tiga bulan atau berbulan-bulan? Apakah kalau masih satu bulan itu bukan anak? Seakan-akan mereka tidak membiarkan
saya untuk berdukacita. Karena mereka sendiri tidak mengerti tentang kesedihan itu sendiri.
Malam itu,
saya benar-benar sedih dan terluka. Saya merasa tidak banyak orang yang
mengerti kehilangan saya hanya karena bayi itu masih 1 bulan! Hanya ungkapan
‘tidak apa-apa’ saja yang menurut banyak orang penting untuk saya. Bahkan saya
merasa bahwa Deni tidak mengerti rasa kehilangan dan kesedihan saya. Saya
melihat dia bisa melewati hal ini dengan mudah dan normal. Namun saya terus merasa
sensitif ketika melihat orang hamil atau menggendong bayi. Deni memandang saya
dengan keheranan karena saya menangis hebat. Dia bertanya kenapa berulang kali,
dan saya hanya menjawab ‘biarkan aku bersedih kali ini.’
Tiba-tiba
Deni ikut menangis dengan saya. Lalu dia berkata, ‘mungkin kamu melihat kalau
aku tidak sedih, tapi aku juga sedih. Aku lebih sedih karena hanya kamu yang
merasakan sakit secara fisik. Mendengarmu berteriak ketika di ruang tindakan
juga membuatku terluka. Kenapa hanya kami yang merasakan sakit berlipat-lipat
sedangkan aku hanya rasa sakit kehilangan saja?’
Kami saling memeluk dan terus menangis. Kami sama-sama memendam rasa sakit yang kami
simpan rapat, lalu bertindak bahwa semuanya tidak apa-apa. Kami tidak pernah
terbuka tentang hal ini. Kami berpikir bahwa semuanya harus kembali normal
seperti biasa. Tapi kami sadar bahwa kami perlu membiarkan diri kami sedih untuk membuang masalah dan beban yang ada di dalam hati. Itu tidak apa-apa kalau kami tidak apa-apa.
Malam itu
kami berdoa kepada Tuhan dan menceritakan segala rasa sedih kami. Kami
benar-benar memprotes Tuhan dan marah. Kami sama sekali tidak mengerti kenapa
Dia memberi lalu mengambilnya dengan cepat. Kenapa kami dibiarkan bahagia selama
beberapa hari lalu merasakan kesedihan yang luar biasa setelahnya. Hati kami
terbuka dan terus berbicara kepada Tuhan. Namun Tuhan mengubah hati kami malam
itu. Sebagai suami istri, kami baru belajar untuk terbuka satu sama lain. Kami
belajar untuk menerima bahwa kami adalah satu daging di dalam Tuhan. Tidak
seharusnya kami hanya menyimpan perasaan kami masing-masing lalu menyalahkan
satu sama lain. Bahkan kami belajar untuk menghadapi masalah itu bersama-sama.
Kami bisa
melihat bahwa rasa kehilangan ini adalah suatu proses dari Tuhan untuk
mendewasakan kami sebagai keluarga. Tidak mudah bagi kami untuk menerima hal
ini tapi kami Tahu bahwa Tuhan memang punya rencana. Dia mengerti apa yang akan
kami hadapi di depan dan Dia sudah merancangkan semuanya dengan indah. Kami
juga percaya bahwa Tuhan sudah menjaga bayi kami.
“Pencobaan-pencobaan
yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa yang tidak melebihi kekuatan
manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kami dicobai
melampaui kekuatanmu.” 1 Korintus 10:13a
Komentar
Posting Komentar