Cara Siapa?



‘Aku iri denganmu. Kamu bisa mendidik anak tanpa ada gangguan dari orang lain.’ Begitu kata seseorang kepada saya. Saya kenal dengannya, jadi saya tau apa yang melatarbelakangi perkataannya itu. Dia tinggal dengan ibu mertuanya, beserta adik ipar. Suaminya bekerja dari sore sampai subuh. Bisa dipastikan kalau ibu mertuanya mengatur keseluruhan rumah tangga bahkan masakan apa untuk hari itu. Suaminya  yang menentukan keputusan dalam keluarganya dan anaknya lebih dekat dekat suaminya. Dia harus bekerja 10 jam sehari. Sehingga ibu mertuanya yang merawat anaknya itu. Ada beberapa aturan ‘modern’ yang ingin dia terapkan pada anaknya, namun itu tidak mungkin diterapkan karena selalu dibantah ‘kamu belum ada pengalaman’.
Kejadian seperti itu, saya yakin dialami oleh banyak ibu-ibu yang terpaksa bekerja di luar rumah. Mereka harus menyerahkan pendidikan anaknya kepada orang lain atau  kepada mertua atau saudara. Dia harus rela melihat anaknya lebih dekat dengan orang  lain daripada dirinya sendiri. Waktu saya membaca forum diskusi ibu-ibu, saya juga banyak membaca keluhan yang serupa. Ketika mereka mengatakan keluhan mereka, mereka selalu dibantah belum berpengalaman, belum bisa merawat anak, belum tau apa yang baik untuk anak dan serupanya.
Keluarga saya mandiri sejak awal kami menikah, tapi sebenarnya saya mengalami kesulitan juga setelah melahirkan. Saya sering merasa kewalahan dengan pekerjaan rumah tangga. Hari Sabtu yang seharusnya menjadi hari santai, sering menjadi hari tersibuk. Saya mau semua pekerjaan selesai pada hari itu karena hanya Sabtu yang libur. Namun Daniela ga selalu tenang ketika mama bekerja. Kadang dia rewel, hanya mau minta gendong. Dan saya sendirian, ga ada ibu mertua, saudara, om, tante yang bisa dimintai tolong. Saya pun harus mencuri waktu untuk mandi, karena saya ga mau Daniela yang sudah menjadi super aktif melakukan sesuatu yang ga diinginkan di dalam rumah.
Tinggal dengan mertua ada enaknya, tapi jadi ga bebas menentukan pola asuh anak. Namun tinggal sendiri juga repot karena ga ada yang menolong. Jadi ada kelebihan dan kekurangannya. Begitu juga dengan pilihan mama bekerja atau di rumah. Bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga atau fokus merawat dan mendidik anak. Keduanya sama-sama menjadi hal yang penting. Keduanya juga sama-sama punya kelebihan dan kekurangan.
So, menurut opini saya, ada dua hal penting yang (mungkin) bisa jadi pertimbangan. Pertama, sebaiknya pasangan yang baru menikah merencanakan kapan mereka punya anak. Ini pembicaraan yang penting karena suami dan istri harus menyiapkan hal-hal khusus, terutama tentang keuangan. Kita juga bisa menyiapkan diri kita untuk menerima kehadiran seorang anak. Banyak hal yang akan berubah setelah punya anak. Mungkin perhatian untuk suami atau istri sedikit berkurang. Jadi ga bisa sering keluar berdua, kita juga lebih rentan stres karena kurang istirahat dan capek.
Saya punya beberapa teman yang menunda kehamilan sampai mereka siap (Okay, ini budaya barat). Tapi setelah mereka siap, mereka memutuskan untuk punya anak dengan jarak yang dekat. Mereka berkata bahwa mereka mematangkan hubungan mereka sebagai suami istri, mengeksplore keromantisan (terutama tentang hal seksual), saling mengenal dan memahami satu sama lain. Setelah mereka siap, mereka siap juga untuk  melewati tahun-tahun panjang dengan anak-anak yang tumbuh bersama. Perencanaan yang matang membuat kita siap secara mental dan financial.
Yang kedua adalah membicarakan tentang pengasuhan anak kepada suami, mertua atau orang yang akan terlibat. Tidak masalah kalau kita mau segera punya anak. Tapi kita harus menggarisbawahi masalah komunikasi. Kita harus mengkomunikasikan semua rencana, keinginan, pola pengasuhan anak dan apa yang akan dilakukan terhadap anak dengan suami dan orang yang akan terlibat dalam mengasuh. Ini seperti warning. Kita sudah memperingatkan mereka bahwa kita punya keinginan mendidik anak sesuai dengan pola asuh yang kita mau.  Mau ASI eksklusif atau sufor, kapan pertama kali memberi MPASI, bagaimana jadwal tidur anak, anak tidur dengan siapa, mau dikasih TV atau HP supaya anak tenang atau ga, dll. Ga salah kalau minta saran dari orang lain, namun keputusan pengasuhan tetap ada di tangan kita sebagai orang tua.
Kalau belum berhasil juga, mungkin bisa mempengaruhi suami untuk punya rumah sendiri dan minta keluarga untuk mengunjungi beberapa kali dalam seminggu (LOL). To make it short, ini hanya pendapat saya. Jadi boleh setuju atau tidak. Tapi berdasarkan pengalaman saya, diskusi dengan suami itu sangat membantu. Karena kembali lagi, keputusan itu kembali kepada keluarga inti. Tul ga?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 8th

WALITURA

Terminal Semester Ini