Pertanyaan Mematikan


"Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya......" - Pengkhotbah 3:11a
Semakin saya dewasa (baca: tua), semakin saya merasa bahwa menghadapi tantangan yang berbeda. Jadi saya merasa juga bahwa curhatan saya berubah genre (LOL). Menjawab dari curhatan teman-teman saya, saya tergelitik untuk curhat tentang dua pertanyaan mematikan.  Pertanyaan itu sering dilontarkan orang, tanpa disadari kalau pertanyaan itu menyakiti hati orang. Pertama ‘kapan menikah’ dan kedua ‘sudah hamil belum’. Saya mau menceritakan pengalaman orang-orang yang saya kenal karena saya sendiri belum punya banyak pengalaman.
Teman saya, D, bertanya kepada E, kapan dia akan menikah. Pertanyaan itu selalu dilontarkan kalau mereka bertemu. Risih dengan pertanyaan itu, akhirnya E menjawab, ‘biar nikah terlambat, daripada nikah tapi suami ga di rumah, eh ada anak tapi anak dititipkan nenek.’ Itu adalah salah satu kasus yang sering saya temui. Menikah muda namun mereka sama-sama belum dewasa sehingga keluarga bahkan anak jadi korban. Mungkin kita ga sadar, kalau banyak sekali ibu muda single parent. Coba dengarkan lagu-lagu atau meme-meme. Banyak diantaranya selalu tentang perselingkuhan, janda kembang, dan hal seperti itu.
Murid saya, dia berasal dari Korea, mengatakan kalau banyak wanita yang memilih berkarir, tidak menikah atau menikah namun di atas 40-an. Hal ini mengakibatkan jumlah anak muda di Korea menurun. Sehingga pemerintah Korea sekarang memberi tunjangan kepada keluarga yang mempunyai anak. Namun kalau keluarga baru mempunyai anak, mereka akan mendidik anak mereka dengan baik. Mengajari mereka untuk cinta tanah air dan budaya Korea, mendidik mereka agar berkarakter dan bisa menghadapi kehidupan di masa depan.
Dari dua cerita itu, kita bisa berkiblat mana yang lebih baik. Pernikahan bukanlah suatu trend yang harus kita ikuti. Bukan juga suatu pelarian agar kita bisa keluar dari rumah dan bebas. Namun pernikahan adalah suatu proses pendewasaan dimana kita belajar memahami karakter kita, pasangan kita bahkan anak kita nanti. Di situ juga proses agar kita bisa memiliki kehidupan yang lebih baik karena kita siap secara mental untuk membentuk keluarga. Jangan sampai kita menikah cepat, dan hanya berakhir di perceraian atau perselingkuhan.
Tidak jauh beda topiknya, setelah seseorang ‘berhasil’ menikah, datanglah pertanyaan mematikan yang kedua, kapan punya anak. Teman saya N menikah di usia 19 tahun. Dia memutuskan menikah karena dia punya visi yang sama dengan pacarnya dan mereka tidak mau pacaran terlalu jauh.  Namun mereka memutuskan untuk menunda punya anak. Mereka sama-sama mau saling mengenal mengeksplorasi hubungan mereka, kuliah dan menikmati masa pacaran setelah menikah. Setelah 5 tahun, mereka baru punya anak. Tidak mudah membesarkan tiga anak yang jarak umurnya berdekatan, apalagi kalau mereka semua masih pakai popok, masih harus disuapi dan menyusu. Namun mereka sangat siap dengan hal ini. Mereka juga sudah menyiapkan pola asuh anak yang mereka mau.
Jauh berbeda dengan budaya kita. Semua orang ingin melihat orang yang menikah segera hamil. Akan ada topik gosip yang baru kalau mereka belum hamil-hamil juga. Saya juga melihat bahwa anak adalah pengantara antara suami dan istri. Dengan kedatangan anak, mereka menjadi dekat, bahagia dan utuh. Padahal tidak seperti itu. Tanpa ada anak pun mereka adalah pasangan yang utuh dan penolong yang sepadan, karena begitulah laki-laki dan perempuan diciptakan Tuhan. Tampaknya dalam budaya ini, anak adalah satu bukti bahwa mereka adalah ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’ yang sejati. Ibu dan bapak lebih sibuk memahami anak, membesarkan anak tanpa menjadi dewasa dalam hubungan suami istri. Karena itu tidak heran kalau ada perselingkuhan. Masing-masing berusaha mencari pelarian dari sibuknya rutinitas sehari-hari.
"Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." - Kejadian 2:24
Bukan berarti saya menolak keluarga yang punya anak setelah menikah. Saya sendiri pun hamil setelah 4 bulan menikah (meskipun sebenarnya masih mau menanti satu atau dua tahun). Namun yang saya garis bawahi adalah jangan sampai kita berkata ‘kok belum hamil’ atau 'kok belum nikah' tanpa tau latar belakang mereka. Mungkin saja mereka memang mau menunda karena mereka mau mempersiapkan mental dan finansial. Mungkin juga Tuhan yang menunda karena Dia tau apa yang terbaik untuk kita. Jangan sampai juga kita terburu-buru menikah atau punya anak, hanya karena mood semua-teman-sudah-menikah. 
Jadi marilah kita menjadi orang yang bijaksana. Bijaksana dalam menyoroti hidup orang lain dan bijaksana dalam hidup kita. Jangan sampai kita menyakiti hati orang dengan perkataan kita. Dan jangan sampai kita sendiri mempunyai hidup yang tidak sesuai harapan kita hanya karena kita buru-buru menikah atau punya anak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 8th

WALITURA

Terminal Semester Ini