Putus Sekolah


Sabtu pagi di minggu ketika bulan Mei 2014.

Aku bertanya kepada anak itu, “Lha kamu lulus SD kapan?”
“Aku ga lulus SD mbak, masih kelas 5 ox.” Aku tercengang mendengar jawaban spontannya. Tetapi aku terus mencuci sambil berpikir mengapa dia putus sekolah. Hebat juga dia, pikirku, mau mencuci baju sendiri, adik laki-lakiku pasti tidak mau melakukannya. Adik-adikku terbiasa dimanja, semua pekerjaan rumah sudah biasa diselesaikan oleh mama, aku dan bulek. Sehingga mereka tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah yang sepele, mereka menunggu untuk disuruh. Dan sekarang dia tidak sekolah. Apakah dia mau membantu orang tuanya?
Sumur tempatku mencuci mulai ramai dengan anak-anak yang bermain dan beberapa tetangga mulai antri untuk mencuci baju. Segera aku menyelesaikan cucianku dan mendekati anak laki-laki itu. Aku memberanikan diri untuk bertanya dan mengajaknya bercakap-cakap. Saat ini dia bekerja di warung nasi goreng mulai dari jam 11 sampai jam 9 malam. “Mengapa kamu tidak sekolah saja, kan lebih enak, punya banyak teman, ilmu dan pengalaman.”
“Lha kalau aku ga sekolah, aku bisa beli motor mbak.” Jawabnya malu-malu.
“Motor?” aku mengerutkan keningku, seburuk itukah mindset anak ini, putus sekolah hanya karena ingin mempuyai motor. “Tapi kalau kamu sekolah, katakanlah minimal SMA, kamu bisa membeli lebih dari motor, karena kamu mempunyai gaji yang lebih besar.”
“Sekarang gajiku 700.000, dan kalau sekolah aku sudah malas, sekarang aja bisa mencari uang.”
“Jangan memikirkan sekarang, mungkin sekarang kamu bisa bekerja dan mempunyai gaji segitu, tetapi di masa depan nanti sainganmu itu sarjana-sarjana,” Aku mulai tidak sabar kepadanya, “Kan kalau kamu punya ijazah  itu aman. Bahkan sekarang kamu tidak mempunyai satu ijazah pun.” Dia memeras pakaian yang sedang dicucinya. Tampaknya dia sedang memikirkan kata-kataku.
Aku tahu lingkungan tempat tinggalku memang tidak begitu baik. Orang-orang di sekitarku terbiasa dengan prestige dan persaingan satu sama lain. Mereka lebih bangga kalau anak mereka ‘laku’ dan cepat menikah daripada sekolah tinggi-tinggi. Bahkan ada orang tua yang mengijinkan pacar anaknya untuk tinggal serumah dengan mereka. Mereka hanya berpikir untuk sekarang tetapi tidak pernah memikirkan masa depan yang baik buat anak-anak mereka. “Sekolah saja, mumpung sekarang kamu masih tanggungan orang tua.” Kataku akhirnya.
“Tapi apa guruku mau menerimaku lagi?”
“Bilang sama aku, nanti aku biar ngomong sama gurumu. Yang penting kamu sekolah jangan sampai putus sekolah seperti ini.”
“Tetapi aku sudah tidak punya LKS mbak.”
“Jangan masuk sekarang, kan tes kenaikan kelas tinggak dua minggu lagi, masuk aja semester depan, kamu bakal dapat LKS lagi, nanti kalau gurumu tidak mengijinkan kamu bilang aja sama aku, biar aku yang ngomong.”
“Iya mbak, nilai-nilaiku sebenarnya bagus lho, diatas 70.”
“Lha iya kan, apalagi kamu pintar, apa ga saying. Pokoknya kamu sekolah ya, sekarang kamu kerja dulu ga apa-apa, tapi bulan juli nanti kamu sekolah.” Dia mengangguk. Aku menghembuskan nafas dalam. Sedikit lega. Setidaknya dia mau kubujuk. "Pokoknya nanti bulan Juli tak tagih janjimu lho, kamu harus sekolah dulu." Dia hanya tersednyum, tetapi itu membuatku tenang ketika meninggalkannya. Aku berharap tidak ada anak yang kukenal mengalami putus sekolah, setidaknya mereka harus memiliki ijazah SMA atau STM. Memang sekarang aku hanya bisa memotivasi mereka dan berdoa untuk mereka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 8th

WALITURA

Terminal Semester Ini