Mereka Berbeda

Sabtu, 14 Juni 2014
Aku sangat gugup ketika datang ke sekolah itu, tempat yang asing dan akan bertemu dengan orang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Agak lama aku melihat gambar-gambar hasil karya anak-anak TK di situ. Gambar dan warna sederhana yang menunjukkan range usia mereka. “Rumah Pintar” begitu tulisan yang berada paling atas. Lalu seorang ibu mempersilahkan masuk saja kalau aku ingin bertemu dengan salah seorang guru, karena semua guru sedang mengajar. Ketika aku berjalan di koridor, aku semakin gugup karena di dalam ruangan ada anak-anak yang sedang bermain drum dan beberapa guru yang mengelilingi. Aku mengenal salah satu di antara mereka. Dia adalah adik kelasku sewaktu SMA.
“Mbak Dita ya? Ayo mbak silahkan masuk.” Mbak Septi, orang yang telah membuat janji bertemu denganku, menyambutku dengan senyuman. “Maaf ya agak kacau, maklum karena ini sedang tahun ajaran baru, jadi banyak anak-anak baru yang masih harus adaptasi dulu.” Aku mengangguk dan segera mendekati Priska, adik kelasku. Dalam obrolan singkat kami, tahulah aku kalau dia juga baru pertama datang dan akan membantu menjadi pemain keyboard setiap hari Sabtu untuk terapi musik.
“Mbak Dita sini, ini lho anak yang kumaksud.” Aku mendekati mbak Septi dan anak yang dimaksud. Astaga dia manis sekali. Sikapnya tenang dan dia sedang menatapku lekat. Aku mencoba mengajaknya berbicara dengan bahasa isyarat, namun dia hanya memandangiku. Dia belum tahu sama sekali tentang bahasa isyarat. Sepanjang pagi itu aku terus mengawasi anak itu dan membantu menolong anak-anak lain yang hiperaktif.
“Jadi orang tuanya minta agar mbak mengajari privat bahasa isyarat dan bahasa bibir.” Kata mbak Septi setelah kelas session pertama selesai.
“Wah kok jadinya kayak les gini mbak, dulu kupikir aku menjadi relawan dan mengajari bahasa isyarat. Tetapi kalau mau seperti itu lebih baik aku bertemu dengan orang tuanya saja, jadi biar bisa lebih mengetahui kondisi anak.” Mbak Septi mengangguk dan kembali melanjutkan laporan yang sedang ditulisnya.
Aku kembali mengawasi anak-anak. Mereka unik dan berbeda. Dan sebenarnya mereka pintar, tetapi kesulitan dalam berkomunikasi, kesulitan dalam belajar bahkan ada juga yang kesulitan mengontrol tingkah lakunya. Satu hal kecil yang baru saja kupelajari adalah tidak boleh menggendong anak autis yang menangis, karena mereka adalah anak yang pintar. Jadi sekali mereka dimanjakan mereka akan berpikir lebih baik menangis saja biar dimanja. Unik memang. Mereka yang berbeda membuatku tertarik untuk belajar bersama mereka dan ikut menyelami dunia mereka. Sehingga kuputuskan untuk menghabiskan beberapa jamku di hari Sabtu untuk bersama mereka. Semoga guru-guru di Rumah Pintar mau menerima bantuanku. 








Komentar

  1. one more activity that makes you precious for others :)

    BalasHapus
  2. Baru belajar teh, :)
    Belum tau juga kelanjutannya gimana nanti,

    BalasHapus
  3. Haha, I know you will do the best then ;)
    Just keep going :*

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 8th

WALITURA

Terminal Semester Ini