Upacara di Ketinggian
“Kepada
semuanya.....Siappp grakkk!!!” Dengan patuh kami melakukan aba-aba dari bang
Ipung, salah seorang teman kami, yang berperan sebagai pemimpin upacara.
Terdengar tawa yang tertahan melihat bang Ipung sendiri malah melipat tangannya
ke belakang dan tertawa karena malu. Kami semua berusaha khidmat dan teratur
dalam upacara hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 67 ini. Tentu saja ini sulit
bagi kami yang slengekan, apalagi semua petugasnya adalah teman-teman kami
sendiri yang jarang bisa serius. Saat pengibaran bendera pun sempat diiringi
dengan tawa yang tertahan dan senyuman geli karena melihat Edwin yang tidak pas
dalam melangkah. Namun kami segera sadar bahwa inilah moment yang paling
ditunggu-tunggu, melihat sang merah putih berkibar dengan gagahnya. Sehingga
kami bisa menghayati bagaimana sang Merah Putih diperjuangkan agar bisa
berkibar di Indonesia.
“Selamat
pagi teman-teman.” Sapa mas Phete kepada perserta upacara. Dia berperan sebagai
pembina upacara. Dia berdiri dengan tegak di atas tugu sehingga kami semua bisa
melihat tubuhnya yang tidak seberapa besar itu. “Upacara yang sungguh unik ya,
dilakukan di atas ketinggian 2.050 mdpl, dengan petugas dan peserta upacara
yang sudah lupa caranya melakukan upacara.” Kami semua tertawa. Memang benar
adanya. Rata-rata dari kami sudah bekerja dan berumur 22 tahun keatas. Hanya
beberapa dari kami yang baru lulus SMA dan jarang menjadi petugas upacara. Jadi
semua petugas upacara ini hanya mengandalkan memori mereka yang mulai lekang
dan instruksi teman yang pernah menjadi petugas upacara. “Kita tahu bahwa para
pahlawan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia denga susah payah. Dan sekarang
giliran kita meneruskan perjuangan para pahlawan. Mungkin melalui kehidupan
kita sehari-hari kita bisa terapkan kebersamaan dan saling menolong. Juga dalam
komunitas kita ini, kita bisa belajar kompak dan saling percaya....”
Kami
terpana. Aku mengangguk setuju. Mas phete yang slengekan dan selalu menjadi
bahan ejekan tiba-tiba memberi pengarahan seperti itu. Memang tidak terduga.
Kami melakukan upacara dengan fasilitas terbatas dan petugas yang amatiran,
awalnya aku sendiri ragu apakah upacara bisa berjalan khidmat. Namun bukan
masalah fasilitas, tetapi tekad untuk melakukannyamembuat kami serius mengikuti
upacara. Dan kata-kata mas Phete terdengar sederhana, bahkan tanpa makna, namun
itu benar adanya. Mungkin kita berpikir apa yang bisa kita lakukan padahal kita
ini hanya pelajar, ada juga yang bekerja dan berjualan, terlebih lagi kita
pecinta gunung. Apa yang bisa kita lakukan? Kita tidak bisa membasmi korupsi,
karena yang kita tahu adalah cara mendirikan tenda. Kita tidak bisa membantu
menangani kelaparan karena kami juga terbiasa memasak mie instant dengan nisting atau makan mie instant tanpa
dimasak. Namun kami bisa memulai dari diri kami untuk berpartisipasi
mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan menjadi pemuda yang berkarakter,
cinta akan alam dan kelestariannya serta melakukan pekerjaan kami dengan maksimal,
sehingga setiap hal yang kami lakukan bisa memberi dampak positive bagi orang
lain.
Komentar
Posting Komentar