Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Coming Back!

Gambar
I’m coming back! Entah berapa lama saya tidak menulis. Kegiatan yang memadat menjelang akhir tahun memaksa saya untuk terus bergerak dan berpikir. Acara gabungan pemuda di gereja pada akhir Oktober menyita seluruh energi dan pikiran saya. Dan meninggalkan kelelahan yang luar biasa setelah acara selasai. Bahkan dalam persiapannya, saya ambruk selama dua hari. Hanya bisa meringkuk di tempat tidur. Tetapi setelah itu, dengan kepala yang masih pusing, saya harus tetap bergerak dan melakukan aktivitas. Belum sempat bernafas lega, acara Natal telah menanti. Total ada tiga acara natal yang butuh campur tangan dan tenaga. Terlintas dalam bayangan untuk bersikap apatis, tetapi bagaimana mungkin kita diam saja kalau kita tahu bahwa ada yang membutuhkan pertolongan, sementara kita mampu untuk menolong? Selain itu, tanggung jawab sosial yang saya sandang sebagai sarjana terus memaksa saya untuk tidak berpangku tangan saja. Karena setiap hari saya melihat tatapan penasaran orang dan pert...

Lebih Bisa Menikmati

Gambar
Pada hari libur Waisak kemarin, saya dan keluarga saya pergi ke Semarang. Kami berencana untuk mengunjungi pantai yang ada di sana. Teriknya matahari tidak menjadi penghalang bagi kami untuk tetap pergi ke pantai. Sesampainya disana, saya terkejut sekali melihat pantai ini. Sangat kotor dan tidak terawat. Ada banyak timbunan sampah dan batu-batu yang menutupi pasir pantai. Terakhir kali saya ke pantai ini keadaannya masih terawat dan masih tertutupi pasir. Pengunjung masih bisa bermain di pasir pantai dan bermain di air laut itu. Tetapi sekarang keadaaanya sangat mengenaskan. Sampah lebih dominan darimana pasir. Air laut tidak jernih lagi, tetapi tercampur dengan sampah dan pasir. Namun adik saya yang paling kecil sangat gembira bermain di pantai ini. Dia duduk di pasir, bermain lempar pasir hitam dan menyelam di air laut yang kotor itu. Lalu saya bertanya kepadanya, “Radit baru pertama ini ya ke pantai?.” Dengan senyuman lebar dia menjawab iya. Saya ikut tersenyum, lalu dudu...

Berjalan Beberapa Kilometer

Gambar
Aku berjalan beberapa kilometer Ke arah utara pulau Jawa Melewati jalanan memutar Berbatu, licin, dan panjang. Aku berjalan beberapa kilometer Dan melihat kupu-kupu yang bertengger Aku bertanya, “Bahagiakah menjadi dirimu?” Dia hanya diam sambil terus menyedot nektar Aku berjalan beberapa kilometer Dan melihat kaki seribu yang melintas Aku bertanya, “Tidakkah kamu takut terlindas?” Namun dia tetap berjalan tanpa tahu batas Aku masih berjalan beberapa kilometer Jalanan masih panjang namun aku terus berjalan Saat hujan turun, hati mulai gentar Harus seperti inikah? Kaki mulai lelah Keringat mulai menetes Dan jalanan telah sepi Namun aku tetap berjalan beberapa kilometer Untuk melihat air laut dan pasir Dengan harapan bisa menemukan jawaban Dan keputusan yang samar

Batasan

Kita itu tidak bebas. Kita terikat batasan-batasan. Tidak bisa menentukan dan tidak bisa benar-benar berdiri di atas persepsinya sendiri. Selalu ada persepsi yang mendahului dan kita harus mengikuti hal itu. Contoh sederhananya adalah bahasa. Tanpa kita sadari kita terikat dengan bahasa yang terlebih dahulu eksis daripada kita. Kita diatur untuk mengatakan bahwa sesuatu yang mempunyai empat kaki penyangga, bisa digunakan untuk meletakkan benda dan yang terbuat dari kayu adalah meja. Kita tidak bisa menyebut benda itu dengan kata yang lain. Teman saya, seorang berkebangsaan Chili, datang ke Salatiga untuk belajar bahasa Indonesia. Dia berusia 36 tahun. Dia mengatakan kepada saya bahwa sebelum dia datang ke sini, dia tidak mempunyai masalah dengan status lajangnya. Tetapi semenjak dia bertemu dengan orang-0rang yang selalu bertanya ‘sudah menikah belum’, hal ini membuatnya berpikir tentang pasangan hidup. Inilah batasan budaya yang masih mengukung orang-orang disekitar saya dan term...

Ilmu apa yang didapat?

Gambar
Teman saya membuat status yang sangat gusar akhir-akhir ini. Intinya tentang usianya yang sudah tidak muda lagi, waktunya yang singkat, ucapan selamat tinggal dan tentang hidupnya. Membaca statusnya itu, saya terdorong untuk mengirim pesan kepadanya. Dan bertanya tentang kabarnya sekarang ini. Tahulah saya bahwa dia memang sedang bergumul dengan pekerjaan. Di usianya yang menginjak 26 tahun ini dia ingin segera mendapatkan pekerjaan. Kebanyakan lowongan pekerjaan yang dibuka mempunyai batas maksimum bagi pelamar yang baru lulus. Sehingga semakin dia bertambah usia, maka akan sulit mendapatkan pekerjaan yang tetap. Yang mapan dengan ijazah sarjana katanya. Saya mafhum. Mendapatkan ijazah adalah suatu perjuangan keras selama empat tahun masa kuliah, tetapi mendapatkan pekerjaan setelah lulus adalah perjuangan yang  lebih keras. Kita akan diperhadapkan dengan dunia persaingan yang nyata dan luas. Orang-orang di sekitar saya sering bercerita bahwa tidak ada jaminan yang pasti ba...

Undang-Undang yang Tidak Berlaku

Gambar
Saya melihat wajah pias teman saya, Devi, ketika wanita itu mengatakan penolakan. Teman saya tidak bisa bekerja di pabrik itu. Memang dia tidak bisa mendengar, tetapi mimik dan ekspresi wanita itu telah mengatakan segalanya. Devi melihatnya. Dengan isyarat pelan, Devi mengajak saya keluar. “Ya mungkin undang-undang tidak berlaku disini.” Kata saya sambil tersenyum dan pergi meninggalkan ruangan itu. Saya berusaha memamparkan undang-undang no 3 tahun 1997 tentang penyandang cacat. Pada pasal 13 pun dituliskan “ Setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya”. Tetapi semua itu hanya dibalas dengan “Saya sudah bilang dengan atasan dan mereka tidak bisa menerima. Karena pasti mandor akan mengalami kesulitan dalam mengajari.” Bahkan ketika saya mengutarakan bahwa saya juru bahasa dan teman saya tuli yang ingin melamar kerja, para pelamar yang lain ikut berbisik-bisik bahkan berkomentar ‘mana mungk...

Beda itu spesial

Gambar
Aku bertemu dengan seseorang yang sepakat bahwa pelajaran paling penting tidak bisa didapatkan di bangku pendidikan formal. ”Ya pelajaran hidup itu didapat dari pengalaman dan keterlibatanmu dalam masyarakat. Bangku sekolah hanya mengajarkan teori yang tidak berkesudahan.” Aku mengangguk bersemangat ketika ‘melihat’ percakapan kami. Melihat bukan mendengar. Karena dia memang tidak berbicara, hanya berisyarat dengan tangan. Berbicara dengan gerak tangan dan tubuh serta ekspresi wajah. Setelah itu banyak lagi pembicaraan mengenai bahasa isyarat dan bagaimana aku belajar bahasa isyarat. Pembicaraan yang begitu menyentuh hati.           Pelajaran lain kudapat dari desa kecil di Sleman, Yogyakarta bernama Sendangtirto, 19-21 Desember 2014. Desa yang akan mempelopori menjadi desa inklusi pertama di Yogya. Desa itu akan memberi akses fasilitas umum kepada orang-orang difabel sehingga mereka  bisa menikmati fasilitas umum seperti pendi...