Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Menurut saya....

Tidak pernah sedetikpun saya memandang rendah orang-orang yang berniat mengabdikan dirinya kepada Tuhan. Mereka yang mendarmakan waktu untuk melayani, mengambil beberapa tahun sekolah Theologia, dan melakukan segala sesuatu untuk membela imannya. Tidak pernah sekalipun!         Bahkan sebaliknya. Mereka adalah orang yang mengagumkan. Rela dengan sepenuh hati untuk melayani dan mempelajari tentang eksistensi Tuhan. Di semester ini, ketika saya bergulat dengan tiga mata kuliah Theologia dan menjadi salah satu dari mahasiswa Theologia, saya sadar bahwa pengabdian dan ketaatan adalah  hal yang sangat penting.         Pengalaman bertahun-tahun dalam pendidikan reguler dan bertemu dengan bermacam-macam orang, membuat saya menjadi seorang yang sangat terbuka. Saya sering bertemu dan berteman dengan orang-orang yang bertentangan dengan fenomena alkitab. Free sex, homoseksual, lesbian, rokok, tatto, tindik, bolos ku...

Pembenaran Sistem dan Manipulasinya

Pada tahun 2011, saya mengikuti ujian nasional untuk mengukur apakah saya pantas lulus dari SMA atau tidak. Tidak hanya saya dan murid-murid di sekolah tersebut yang sibuk belajar untuk mepersiapkan ujian tersebut, tetapi para guru juga ikut sibuk memberi nasehat yang sama kepada para muridnya. Sekolah saya memang sekolah negeri yang baik prestasinya di kota saya, sehingga para guru juga khawatir kalau ada muridnya yang tidak lulus. Tanpa diberitahu pun kami, para murid, ingin bisa lulus semua. Sehingga satu persatu dari kami mulai memikirkan bagaimana caranya agar bisa mencontek dari teman yang sama kode ujiannya. Tentu saja tidak semua murid menginginkan cara seperti itu, sebagian dari kami jujur dan mengerjakan dengan kemampuan sendiri. Lalu seorang guru bimbingan konseling masuk ke kelas kami dan mengatakan segala nasehat tentang ujian nasional. Tetapi satu hal yang membuat saya tercengang adalah dia menyuruh kami untuk saling memberi contekan, padahal notabenenya dia juga menga...

Jejak yang Tertinggal

Gambar
Saya memandangi landasan pesawat itu dari teras rumah panggung di mana saya tinggal. Setiap kali saya memandang jauh, saya selalu melihat pemandangan luas yang tidak terbatas. Gunung-gunung yang menjulang, pohon-pohon yang hijau, langit yang terbuka dan tanah yang luas. Seakan mata saya tidak mampu menampung semua pemandangan ini.         Dari atas anak-anak yang berseragam berjalan turun ke sekolah. Mereka menggendong noken dan memanggul kayu bakar.         “Lapmum,” teriakku kepada mereka. Mereka selalu membalas dengan sapaan yang sama. Ingin sekali saya mengikuti mereka ke sekolah dan melihat bagaimana mereka belajar. Tetapi ini hari terakhir kami di Tarub. Diperkirakan pesawat akan datang menjemput kami jam 9, sehingga tidak ada waktu untuk pergi ke tempat lain.         Jalanan yang saya lalui, orang-orang yang saya temui, dan pengalaman yang saya terima sangat membek...

Another Day in Tarup

Gambar
Deni dan saya duduk-duduk di beranda dan bermain gitar. Melihat orang-orang yang bermain gitar di gereja, membuat tangan Deni gatal untuk memetik gitar. Hari ini seperti hari libur bagi kami semua. Tidak ada aktivitas lagi setelah kami mengunjungi gereja. Saya tersenyum mengingat pengalaman ini. Ada perasaan yang tidak percaya bahwa saya telah sampai di daerah ini untuk melihat bagaimana masyarakat suku hidup dan bagaimana misionaris melayani mereka. Tetapi orang-orang yang berbicara dalam bahasa sangat tidak saya mengerti di gereja menyadarkan saya bahwa ini semua nyata.         Saya senang melihat mereka membuka hati mereka untuk Tuhan. Dan di sisi lain, hal itu juga yang membuat para misionaris itu sedih. Mereka tidak benar-benar mengenal Tuhan dengan benar. Hanya sebatas kepercayaan dan pengetahuan pendeta saja, mereka mengenal Tuhan. Biasanya pendeta-pendeta itu dilantik setelah ada kunjungan misionaris selama seminggu atau dua minggu. ...

In the Second Day

Gambar
Anak-anak perempuan tertawa keras ketika saya mencoba kata-kata baru dalam bahasa Morop, Ne guineate. Kira-kira begitu bunyinya. Semakin saya mencoba, semakin mereka tertawa dengan keras. Mungkin mereka berpikir mengapa ada orang yang bodoh sekali.           “Kalau dong sudah besar mau buat apa?” tanyaku kepada mereka. Mereka hanya diam dan menatapku malu-malu. “ Dong bisa jadi polisi, guru, perawat, dokter dan macam-macam sudah. Juga bisa buat maju desa ini,” mereka hanya tersenyum tipis dan menatap saya. Saya tidak mengerti apakah mereka mengerti apa yang saya katakan.         Tidak berapa lama, Pak Guru Matius memanggil mereka untuk berkumpul. Waktu istirahat mereka setelah kerja bakti telah selesai. Beliau adalah salah dua guru yang ada di satu-satunya sekolah di suku itu. Kepala sekolah sedang pergi ke kota sehingga tidak bisa membantu Pak Matius. Jumlah murid-murid itu tidak banyak. Hanya sekita...

Suku Morop, 22 Januari 2016

Gambar
Saya melihat kaki anak-anak itu berdarah. Lukanya bercampur dengan lumpur dan air kotor. Mereka sama sekali tidak merasa terganggu dengan bekas gigitan lintah itu, seakan bekas itu seperti bekas gigitan nyamuk saja. Ingin rasanya saya mencoba mengabaikan lintah-lintah itu dan terus berjalan ke arah tempat pembuatan sagu. Tetapi mata saya tertuju ke bawah dan mengawasi kaki-kaki saya. Bahkan saya mengabaikan penjelasan Pak Ji-soung tentang bagaimana cara orang membuat sagu. Segera setelah sadar, saya berusaha untuk bertanya dan tetap terlihat tertarik dengan penjelasan itu.         Hari pertama di distrik Tarub, sudah membuat saya terkesan dengan cara orang-orang di suku ini hidup. Mereka tinggal dalam rumah-rumah panggung persegi yang terbuat dari kayu atau bambu dan beratap daun rumbia. Beberapa dari rumah mereka sudah beratap seng yang berasal dari bantuan pemerintah. Umumnya mereka memakai baju-baju lusuh dan makan ubi-ubian. Pada minggu it...

Sentani, 18-21 Januari 2016

Gambar
Saya mengubur kaki-kaki saya dengan pasir putih yang terhampar di pantai ini. Pantai ini terletak di pulau yang terpisah dari Papua. Beberapa kilometer dari Sentani. Pondok-pondok bambu yang kokoh di bangun untuk para pelancong, namun karena ini bukan akhir pekan, hanya rombongan kami saja yang meramaikan pantai ini.         Saya masih tidak bisa percaya bahwa akhirnya saya menginjak tanah Papua. Berkunjung ke sekolah Papua Harapan, bertemu dengan pemimpin organisasi, jalan-jalan di sekitar kota Sentani, bercakap-cakap dengan keluarga Yoon yang telah mengundang kami dan berlibur di pantai terindah yang pernah saya lihat ini.         This is like a puzzle I have been looking for. Bagaimana Dia menempatkan saya untuk menempuh jalan ini. Saya yang harus belajar bahasa Inggris dan Linguistic di Universitas, bertemu dengan organisasi misionaris dan akhirnya sampai di sini. Saya merasa di tuntun dengan perlahan ...

Pertunjukan Reog

Saya berdiri di belakang orang-orang yang yang lebih tinggi dari saya. Sehingga saya hanya melihat punggung-punggung mereka dan mencium baru keringat mereka. Saya mencoba mendesak ke barisan paling depan. Tetapi orang-orang berbadan tegap itu tidak mampu kutembus. Mereka terlalu serius melihat pertunjukan reog yang ada di depan mereka. Bahkan setiap ada kesempatan, mereka akan semakin maju sehingga mereka bisa melihat dengan jelas. Ah dimana adik kecil saya. Badannya yang kecil telah menghilang di antara kerumunan itu. Lalu saya memberanikan diri untuk meneriakkan nama adik saya berulang kali. Tetapi tidak juga kulihat sosoknya. Orang-orang hanya melihat saya sekilas lalu melengos. Mereka tidak peduli. Mereka belajar kolusi, korupsi dan nepotisme dari hal sederhana. Lihat saja di panggung itu. Di antara para penabuh gamelan dan sinden itu, berdesak-desakkan anak-anak kecil dan orang dewasa yang berebut tempat duduk di sekitar panggung. Dan hanya orang yang kenal dengan penghuni pang...