In the Second Day
Anak-anak perempuan tertawa keras ketika saya mencoba kata-kata baru dalam
bahasa Morop, Ne guineate. Kira-kira
begitu bunyinya. Semakin saya mencoba, semakin mereka tertawa dengan keras.
Mungkin mereka berpikir mengapa ada orang yang bodoh sekali.
“Kalau dong sudah besar mau buat apa?” tanyaku kepada mereka. Mereka hanya
diam dan menatapku malu-malu. “Dong
bisa jadi polisi, guru, perawat, dokter dan macam-macam sudah. Juga bisa buat maju desa ini,” mereka hanya tersenyum tipis
dan menatap saya. Saya tidak mengerti apakah mereka mengerti apa yang saya
katakan.
Tidak berapa lama, Pak Guru
Matius memanggil mereka untuk berkumpul. Waktu istirahat mereka setelah kerja
bakti telah selesai. Beliau adalah salah dua guru yang ada di satu-satunya
sekolah di suku itu. Kepala sekolah sedang pergi ke kota sehingga tidak bisa
membantu Pak Matius. Jumlah murid-murid itu tidak banyak. Hanya sekitar 40 anak
dan tersebar dari kelas 1 sampai kelas 6. Biasanya hanya Pak Matius saja yang
mengajar mereka. Saya langsung membayangkan betapa repotnya beliau mengajar
semua anak yang berbeda kelas itu. Apalagi tidak ada buku-buku yang memadai
yang mendukung sekolah. Fasilitas sekolah juga bisa dikatakan tidak cukup. Hanya
ada meja, kursi dan papan tulis hitam yang diletakkan di atas kursi.
Ruang guru sekolah itu juga
sama parahnya. Di ujung ruangan ada peta Indonesia yang sudah robek ujungnya,
lantainya terlihat berdebu dan di atas meja ada buku-buku pelajaran yang
ditumpuk. Buku-buku itu memiliki kurikulum yang berbeda-beda. Sehingga saya
tidak mengerti bagaimana caranya mereka mengajar murid-murid di sini?
Ironinya, pemerintah sering mengalirkan
uang ke daerah itu. Uang yang tidak berwujud dan selalu habis untuk kebutuhan
sehari-hari. Tidak ada bantuan buku. Tidak ada guru yang memadai. Hanya uang
saja yang diberikan. Selain itu, bantuan berupa gedung-gedung juga diberikan. Sehingga
di daerah itu terlihat rumah-rumah kosong, kamar mandi rusak, kantor imigrasi
yang hanya dibangun tetapi tidak pernah ditempati, puskesmas yang terkunci dan
balai desa yang bahkan masyarakat tidak tahu apa fungsinya.
Bantuan pemerintah ini juga
mengubah pemikiran masyarakat tentang uang dan barang. Mereka mulai mengukur
segala sesuatu dengan uang. Bahkan mereka juga menjadi malas bekerja atau
mengusahakan tanah mereka, karena pemerintah selalu memberi mereka uang atau
memberi barang-barang dengan gratis. Sehingga mulai jarang ditemukan masyarakat
yang mau membantu. Setiap bantuan yang ditawarkan selalu diimbangi dengan harga
yang mahal.
Memang cara pemerintah memberi
bantuan ini baik. Mereka ingin agar masyarakat di sini mendapat bantuan yang
sama dengan daerah lain. Tetapi pemerintah lupa cara mengembangkan sumber daya
manusia yang ada di tanah ini. Tidak ada pendidikan yang layak, kesehatan yang
memadai, dan perubahan pemikiran yang benar. Salah satu pemikiran yang unik di
sini adalah masyarakat percaya bahwa mereka yang tinggal di rumah beratap seng
akan hidup l ebih lama. Sehingga mereka
dengan senang hati menerima bantuan seng dari pemerintah.
“Sudah jelas semua!!” teriak
pak Matius setelah memberi pengumuman. “Ingat, hari Senin sekolah seperti
biasa. Membawa buku dan memakai seragam. Rambut yang panjang harus diservis. Jangan lupa membawa kayu bakar
karena bapak tiga bulan libur.”
Saya melihat barisan anak-anak
itu. Mereka seharusnya berhak mendapatkan pendidikan yang lebih baik karena
mereka punya masa depan. Mereka bisa dibentuk menjadi seseorang yang lebih dari
bapak ibu rumah tangga. Semoga saja kesempatan anak-anak itu untuk belajar yang
layak segera datang.
Komentar
Posting Komentar