Suku Morop, 22 Januari 2016


Saya melihat kaki anak-anak itu berdarah. Lukanya bercampur dengan lumpur dan air kotor. Mereka sama sekali tidak merasa terganggu dengan bekas gigitan lintah itu, seakan bekas itu seperti bekas gigitan nyamuk saja. Ingin rasanya saya mencoba mengabaikan lintah-lintah itu dan terus berjalan ke arah tempat pembuatan sagu. Tetapi mata saya tertuju ke bawah dan mengawasi kaki-kaki saya. Bahkan saya mengabaikan penjelasan Pak Ji-soung tentang bagaimana cara orang membuat sagu. Segera setelah sadar, saya berusaha untuk bertanya dan tetap terlihat tertarik dengan penjelasan itu.
        Hari pertama di distrik Tarub, sudah membuat saya terkesan dengan cara orang-orang di suku ini hidup. Mereka tinggal dalam rumah-rumah panggung persegi yang terbuat dari kayu atau bambu dan beratap daun rumbia. Beberapa dari rumah mereka sudah beratap seng yang berasal dari bantuan pemerintah. Umumnya mereka memakai baju-baju lusuh dan makan ubi-ubian. Pada minggu itu, beberapa laki-laki dari suku pergi ke hutan untuk mengusahakan hidup mereka sehingga kami hanya melihat sebagian orang saja.
        Pak Peter tertawa keras melihat saya yang sangat ketakutan, “Tadi kamu marah ketika tahu ada banyak guru dan perawat yang tidak tahan di sini, tetapi sekarang kamu tahu kan?.” Saya merasa malu. Memang benar sekali perkataannya. Karena saya tidak tahu keadaan di sini, saya bisa menghakimi orang-orang yang melarikan diri dari tempat ini ketika mereka sedang masa tugas. Segera, saya berjalan dengan cepat agar sampai di perkampungan. Hati saya sangat sedih melihat saya sendiri takut dengan hewan-hewan yang seharusnya menjadi teman akrab.
        “Hanya orang-orang yang dari Tuhan dan mendapat kekuatan dari Tuhan yang bisa bertahan dari sini. 12 tahun kami di sini juga tidak mudah. Selalu ada keinginan untuk pulang dan menyerah. Apalagi ketika menghadapi orang-orang yang sulit. Tetapi Tuhan selalu mengingatkan kami,” kata ibu Joy ketika kami pulang dari hutan. Dia adalah ibu yang memiliki hati yang penuh belas kasihan. Keluarganya juga membuka pintu rumahnya untuk saya dan Deni tinggal, .
        Saya menangis dan membenarkan perkataannya. Pasti tidak mudah bertahan di tempat yang terpencil dan sulit dijangkau ini. Tidak bisa mendapatkan hiburan, makanan yang layak, rumah idaman, dan jauh dari peradaban. Saya kembali teringat sebelum sampai di Tarub, kami terpaksa mendarat di Oksibil karena cuaca sangat buruk. Kami harus menunggu selama satu jam lebih untuk menunggu awan membuka. Daerah Tarub memang daerah yang memiliki curah hujan yang sangat tinggi. Kadang-kadang kabut turun dalam beberapa hari, sehingga tidak ada cahaya matahari yang cukup. Sayuran saja enggan tumbuh di daerah itu. Tarub juga berbatasan dengan Papua Nugini. Jaraknya hanya 12 mil saja. Masyarakat juga masih percaya kepada roh-roh dan memiliki kehidupan yang sangat bebas.
        Pemerintah mulai melirik mereka dengan membangunkan rumah-rumah dan gedung-gedung kayu untuk mereka. Tetapi mereka tidak tahu bagaimana mereka menggunakan fasilitas itu. Rumah-rumah yang berdiri kokoh di depan rumah dimana saya menginap dibiarkan kosong. Alasannya adalah rumah itu tidak sesuai dengan pola hidup mereka. Pemerintah juga menggaji guru dan tenaga medis untuk bekerja di tengah masyarakat itu. Tetapi tidak pernah ada yang sampai bertahan lama di tempat itu. Ketika mereka mendengar pesawat mendarat, mereka akan segera berkemas dan memohon untuk dibawa pulang ke kota.

        Saya mulai sadar bahwa hidup di tengah pedalaman bukanlah seperti kemah di atas gunung atau di tengah hutan. Hanya perlu bertahan beberapa harisaja dan semua akan berakhir. Ini lebih kepada komitmen yang kuat dan tekad yang bulat. Bagaimana mungkin bisa bertahan kalau dihadapkan dengan kehidupan yang sangat berbeda dari yang kita alami? Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa, bukan?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 8th

WALITURA

Terminal Semester Ini