Jumat, 30 Maret 2012

“Yah beginilah kerja nenek, nak. Hanya jual.sulak. Membuat orang memandang rendah.” Nenek itu berkata lirih sambil menata beberapa sulak yang ada di tasnya.

“Jualan dimana nek?” ibu berbadan besar di depan nenek bertanya dengan sedih.

“Di pasar raya. Nenek selalu keliling-keliling pasar. Siapa tau ada yang tertarik membeli sulak. Lumayan dapat sedikit-sedikit buat makan.”

Ibu yang bertanya hanya mengangguk dan menundukkan kepala di moment berikutnya. Nenek itu masih terlihat sibuk menata sulaknya, mengelus dan menghitung jumlah sulak yang tidak seberapa. Dan terdengar ada isakan tangis yang tertahan oleh ibu yang bertanya. Dia tampak mengelap air matanya dengan kerudung yang dipakainya.

“Pak, turun depan ya.” Nenek itu berteriak kepada supir angkot. “Mari mbak, nenek duluan ya.” Ibu itu hanya mengangguk dan berusaha menahan isak tangisnya.

“Kalau nenek itu juragan sulak mungkin uangnya banyak, tapi dia hanya jual beberapa sulak. Apa uangnya cukup buat makan? Membawa tubuhnya yang rapuh saja sudah membahayakan.” Kata ibu yang bertanya tiba-tiba setelah nenek tadi turun dari angkot. Entah ditujukan kepada siapa.

Untuk alasan welas asih itulah si ibu yang bertanya menangis. Melihat tubuh renta yang sudah seharusnya pensiun dari pekerjaan berat, namun harus menjajakan dagangannya. Inilah ironi yang selalu terjadi di dunia ini. Sebagian besar orang yang mengucurkan keringat bercampur darah hanya untuk mendapatkan uang penyokong hidup. Sebagian yang lain, hanya duduk ongkang-ongkang kaki memperhatikan rakyat semakin menderita, namun tidurnya beralaskan uang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The 8th

WALITURA

Terminal Semester Ini