Tresno Itu Tidak Selalu Karena Kulino
5.12 pm
Matahari yang hampir terbenam belum sepenuhnya tertelan
bumi. Hanya awan yang mulai menutupinya. Aku terus mengamati gerakan perlahaan
itu sembari memikirkan perjalananku sehari ini. Pagi tadi, pukul 8.30am aku
menyusuri jalanan untuk menuju Sragen dengan tujuan mengantar tas untuk anak
sekolah minggu di gereja tempat Deni melayani. Jalanan yang rusak dan berlubang
sempat menyadarkanku untuk apa aku menemui mereka? Aku belum pernah bertemu
dengan anak-anak itu, bahkan belum lama mengetahui mereka. Mereka hanyalah topik
pembicaraan antara aku dan Deni. Topik pembicaraan yang akhirnya menjadi sebuah
keputusan yang bulat, kami akan usaha dana dan memberikan paket alat tulis
untuk mereka dan tas bagi yang membutuhkan. Perjalanan yang hampir dua jam itu
membuatku terus berpikir, mengapa aku mendedikasikan semua uang sakuku untuk
membantu mereka karena usaha dana yang hanya menghasilkan kurang dari 50rb? Bukan,
bukan maksudku untuk mengungkit, tetapi hanya untuk menegaskan bahwa tresno tidak selalu berawal dari kulino. Aku belum kulino dengan
anak-anak itu, tetapi aku merasa ikut mengasihi mereka. Ikut merasakan masalah
yang sedang mereka hadapi. Aku sendiri mengingat bahwa diriku adalah anak asuh
dari sponsorku yang berada di Penssylvania. Dia tidak pernah melihatku secara
langsung, hanya berkirim surat selama hampir 15 tahun. Tetapi aku merasakan
bahwa bibi Lola, begitu aku memanggil sponsorku, sangat mengasihiku. Dia dengan
sukarela menceritakan kehidupan dan keluarganya secara periodik, dan seringkali
disertai dengan hadiah dan kartu ucapan. Padahal dia sama sekali tidak kulino
denganku. Begitulah sampai akhirnya kuputuskan untuk menyertakan uang sakuku
dalam penggalangan dana yang tidak berujung ini. Karena aku ingin mengasihi
anak-anak yang sama sekali belum aku temui tapi kurasakan masalah mereka.
5.17 pm
“Apakah ini cukup mengganti kecewamu?” Tanya Deni. Aku hanya
tersenyum dan mengangguk. Aku tahu sunset ini tidak akan memuaskan keinginanku
untuk melihat sunset di pantai. Awalnya memang kami berencana akan ke pantai di
Jogja, yang sebenarnya adalah keinginanku untuk melihat sunset. Pukul 2.30 pm
kami berangkat dari Sragen, dan ternyata waktu itu tidak memungkinkan kami
untuk mencapai pantai. Hanya bisa mencapai gapura “Selamat datang di kota
Wonosari” pada pukul 4 lebih. Lalu kami memutuskan putar balik dan memendam
keinginan akan sunset itu. Sampai akhirnya kami berhenti di Gunung Kidul dan
melihat sunset ini.
“Tidak apa-apa. Aku tidak kecewa. Aku hanya memikirkan
perjalanan kita sehari ini.” kataku kemudian. “Meskipun perbandingannya satu
rupiah disbanding satu dollar.” Lalu kami tertawa bersama.
5.20 pm
Kami pulang tak lama setelah itu. Perjalanan ini memang
melelahkan, bukan bagiku tapi bagi Deni yang berjam-jam mengendarai Brian. Aku
juga tidak tahu apakah dia menikmati hari ini atau tidak. Semoga bukan hanya
lelahnya saja yang diingat tetapi perjalanan melewati sawah dan jalanan yang
rusak serta berlumpur hanya untuk menemui anak-anak tersebut. Meskipun aku
tidak bisa melihat semua anak-anak, hal itu tetap bisa kunikmati. Aku menganggapnya
pengalaman baru yang tidak akan pernah kudapat lagi. Bahkan hal ini juga
menjadi pelajaran bagiku, kalau tresno itu tidak selalu berawal dari kulino.
well, tresno iku seko rasa susah, ta. nek koe gak susah, koe gak bakal ndue sponsor, gak bakal mengasihi adek2mu... kamu dan adik2 sekolah minggu-mu, aku dan adik2 TPA-ku..
BalasHapus*itu saja yang kurasakan*
Betul :)
Hapusmemang itulah yang sering terjadi, atas dasar kesamaan nasib maka terciptalah sesuatu.